Itu adalah judul berita di Kompas tanggal 30 November 2007 halaman 18.
Intisari dari berita tersebut adalah DANA BAGI HASIL (DBH):
Dari dua sisi tersebut didapat data sbb:
1. Menurut sisi Depkeu adalah:
a.) Depkeu mempunyai rencana unuk membayar dana bagi hasil kepada daerah dengan menggunakan surat utang atau obligasi dengan iming2 bond rate 11-12% per 3 bulan.
b.) Langkah yang direncanakan Depkeu merupakan satu dari sembilan langkah pengamanan APBN 2008 untuk memanfaatkan pendapatan yang diterima daerah penghasil migas Rp.13,9 T dengan menempatkan surplus kas daerah itu ke instrumen utang yang bebas resiko, yakni SBN (Surat Berharga Negara).
c.) SBN dibeli langsung oleh daerah untuk mengurangi biaya intermediasi.
d.) Menurut Dirjen Pengelolaan Utang, kebijakan pembayaran DBH dengan menggunakan obligasi pernah dilakukan tahun 2001.
e.) Penjualan obligasi secara terbatas telah sesuai dengan UU No.24/2002 ttg Surat Utang Negara.
2. Menurut Alfitra Salam yang menjabat Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dan Penasihat Asosiasi DPRD Kabupaten Se-Indonesia (Adkasi) adalah:
a.) Depkeu tidak punya dasar hukum untuk hal di poin 1.
b.) Pemerintah Pusat (PP) cemburu kepada Pemerintah Daerah yang selalu menyimpan dananya di SBI.
Apa yang menarik dari perdebatan ttg DBH dari pernyataan2 diatas?
1. Depkeu ingin mengurangi biaya intermediasi.
Dengan menggunakan diagaram, mungkin seperti ini:
saat ini adalah:
PP ---> Pemda ---> BI (SBI) ---> Pemda ---> PP (berbentuk laporan penggunaan dana)
yang ingin dilakukan Depkeu adalah:
PP ---> Pemda ---> PP (berbentuk laporan penggunaan dana).
Jadi fungsi intermediasi dari BI dihilangkan, yang artinya biaya pun juga berkurang. Misal SBI sebesar 9%, pemda mungkin dapat net income dibawah 9% karena ada biaya2 admin yang harus dikeluarkan pemda.
2. Depkeu cemburu dengan pemda yang menaruh di SBI.
Pernyataan dari Alfitra Salam menunjukkan bahwa dia tidak tau fungsi dari SBI sebagai instrumen moneter untuk menjaga jumlah peredaran uang agar dapat menjaga kestabilan rupiah.
Lalu logika saya, jika seseorang ditawarkan bunga yang lebih tinggi plus cost yg semakin berkurang, seharusnya orang itu mau..
Pertanyaannya, kenapa ditolak?? agak aneh bukan..mau diapakan ini uang??
3. Tentu alasan Depkeu memberikan State Bond dengan satu alasan, dimana diketahui bahwa banyak uang pemda yang disimpan di SBI karena pemda tidak mengerjakan apa yg menjadi konsekuensi pemda di APBN.
Dan banyaknya dana pemda di SBI juga membuat puyeng BI karena seharusnya dana tersebut digunakan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat malah hanya dibungakan.
Dan supaya diketahui, dari penghasilan daerah tersebut ada yang merupakan jatah pejabat2 pemda yang diatur dengan UU.
Aneh bukan seorang pejabat pemda mendapatkan success fee untuk sesuatu yg bukan merupakan prestasi.
4. Saya rasa alasan Depkeu adalah melihat perekonomian dari sisi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana kita ketahui ga semua pemda kaya.. Jadi apa salahnya jika daerah yg kaya membantu daerah yg miskin or DBH yang dipegang Depkeu digunakan untuk bantuan2 musibah nasional dll.
5. Keberanian Depkeu untuk memberikan rate yang tinggi paling tidak mempunyai 2 alasan ekstrim, pertama Depkeu gila or kedua Depkeu sudah mulai melakukan perubahan internal sehingga mampu memutar uang lebih dari 12%.
Dengan keadaan yang ada saat ini, saya memilih kemungkinan kedua (bukan karena saya pegawai Depkeu lho;p)
6. Dengan memberikan DBH dalam bentuk State Bond, at least, Negara kita bisa mengurangi utang luar negeri yang kita ketahui nilai mata uang kita stabil turun hehehe.. Jadi Negara kita atas pinjaman tersebut harus membayar pokok, bunga dan kurs mata uang. Dan yg lebih gila, untuk pinjaman tersebut, umumnya selalu ada proyek dari negara yg memberi uang dengan membayar ekspatriat negara tsb dan membeli beberapa persen produksi negara tsb. Yang intinya uang itu dikasih ke Indonesia untuk membayar orang asing dengan menggunakan uang orang asing tersebut dan pemerintah harus membayar plus tetek bengeknya hahahaha..
7. Jika ada alasan bahwa Depkeu tidak mempunyai dasar hukum, maka itulah awal dari kehancuran negara Indonesia. Selalu berkutat dengan peraturan terlebih dahulu padahal perekonomian itu dinamis..
Bukankah filosofi dari sebuah aturan hukum adalah terciptanya perubahan ke arah positif. Lalu apakah kita sebagai manusia harus dibatasi oleh peraturan jika akal budi kita tau mana yg benar dan salah or baik and buruk untuk negara kita walopun peraturan belum dibuat??
Intinya seh, marilah kita melihat NKRI sebagai sebuah kesatuan bukan secara partial per pemda, per suku, per agama, per kecantikan or kegantengan;p dll.
Mari kita bangun NKRI menjadi living better for us and anak cucu kita..
Btw, ini hanya logika bodoh saya.. lebih bodoh lagi orang yg percaya dg tulisan saya..Udah baca panjang2.. di hina pula wakakakakakakakak...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment