(Kerangka Acuan)
A. Latar Belakang
Pelaporan adalah bagian dari proses penilaian karena dalam laporan dijelaskan semua hal yang berkaitan dengan penugasan dan hasil yang diperoleh. Dan laporan ini bisa menjadi faktor penting dalam mengambil keputusan bagi pihak yang memberi penugasan ataupun pihak lainnya yang terkait.
Penyusunan laporan adalah proses terakhir dari seluruh proses penilaian. Dan umumnya proses pembuatan pelaporan akan membutuhkan waktu yang sama dengan proses penugasan dilapangan dikarenakan banyaknya pertimbangan yang harus diputuskan sebelum laporan diterbitkan.
Sampai dengan saat ini belum ada pelaporan yang bisa diajukan sebagai kerangka dasar dalam menentukan format laporan penilaian usaha. Oleh karena itu saat ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara berusaha membentuk format dari pelaporan penilaian usaha yang dapat menjadi format baku dalam penilaian usaha di Indonesia.
Arti Kosa Kata Laporan/Report dari Kamus Bahasa Inggris
[report (plural reports)
1. A piece of information describing, or an account of certain events given or presented to someone.
A report by the telecommunications ministry showed that the phone network has a severe capacity problem.
2. (ballistics) The loud echo sound from a gun.
o 1883: Robert Louis Stevenson, Treasure Island
...a pistol-shot, flash and report, came from the hedge-side.
to report (third-person singular simple present reports, present participle reporting, simple past reported, past participle reported)
(intransitive) (news) To relate details of an event or incident.
This was our correspondent reporting from Baghdad, Iraq.
(intransitive) (military) To show up or appear at an appointed time; to present oneself.
(transitive): To notify of.
The nuclear plant reported the incident to the authorities.
Riots have been reported from a remote province of the country.
To be accountable.
The financial director reports to the CEO
B. Laporan Penilaian
Laporan penilaian (valuation report) adalah sebuah bentuk pelaporan baik secara lisan maupun tertulis dari nilai dan atau penilaian yang telah dilaksanakan oleh penilai kepada pihak yang memberi tugas (klien). Pelaporan ini biasanya dilakukan oleh penilai maupun kantor penilai kepada pemberi tugas sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas yang diberikannya.
Tujuan dari laporan penilaian ini adalah untuk menyampaikan data, logika, asumsi yang melandasi dan analisa yang mendukung pernyataan nilai kepada pihak yang memberi tugas penilaian. Laporan Penilaian yang dibuat oleh seorang penilai usaha (business appraiser) harus dilengkapi dengan pernyataan (sertifikasi) penilai dan batasan/istilah yang dicakup dalam penilaian yang meliputi cakupan penilaian, kondisi yang membatasi, definisi nilai, tujuan penilaian dan tanggal penilaian. Dan agar pembaca atau pemberi tugas (klien) memahami masalah penilaian dari obyek yang dinilai melalui alasan dan diskriptif data yang relevan untuk mendukung suatu opini/kesimpulan nilai.
Laporan penilaian juga dapat berfungsi antara lain sebagai berikut:
a. Menyampaikan kesimpulan Penilai tentang Nilai kepada klien dan atau kepada orang lain yang mungkin berkepentingan dengan hasil penilaian.
b. Sebagai catatan lengkap dan terperinci dari nilai suatu usaha dipandang dari berbagai sudut kegunaan dan kepentingan sesuai dengan keadaan dan situasi yang berlaku.
c. Melindungi usaha dari berbagai kemungkinan yang dapat merugikan pemilik (owner) dari kejadian yang tidak disangka-sangka.
d. Sebagai bahan pengambilan keputusan bagi manajemen dalam rangka pengembangan usaha dan bisnisnya serta meningkatkan kredibilitas dari lembaga-lembaga keuangan maupun masyarakat.
Bentuk dan format laporan penilaian memang seringkali bervariasi. Format laporan penilaian untuk perusahaan penilaian swasta dan untuk instansi pemerintah biasanya berbeda meskipun kandungan isinya sama. Namun secara umum, memberi standar bahwa laporan penilaian setidaknya harus mencakup beberapa hal sebagai berikut :
Identifikasi dan diskripsi mengenai objek yang dinilai. Kegiatan pengidentifikasian ini meliputi pengidentifikasian fisik terhadap lokasi perusahaan, kegiatan, legalitas dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai suatu obyek.
Mengidentifikasi opini yang menjadi tujuan penilaian dan sekaligus kegunaan penilaian itu sendiri. Jenis nilai, tujuan penilaian dan kegunaan penilaian ini sangat terkait erat dan merupakan hal yang sangat penting untuk ditentukan dan diketahui sebelum proses penilaian tersebut dilaksanakan.
Menetapkan tanggal penilaian (date of valuation), tanggal inspeksi lapangan dan tanggal pelaporan. Karena nilai properti dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan dinamika di lapangan, maka tidak ada satu nilai tunggal yang dapat digunakan untuk keperluan sepanjang waktu tanpa ditetapkan tanggal penilaiannya. Tanggal penilaian tersebut menunjukkan bahwa nilai yang dihasilkan adalah nilai tertentu pada suatu tanggal penilaian tertentu pula, dan hal ini penting untuk membatasi tanggung jawab penilai.
Menentukan kegunaan tertinggi dan terbaik (highest & best use) dari saham yang dinilai (jika dianggap perlu). Dalam tujuan penilaian tertentu analisis kegunaan tertinggi dan terbaik ini seringkali dianggap perlu, terutama pada saat melakukan penilaian untuk menentukan nilai potensi suatu perusahaan, studi kelayakan, dan sebagainya. Secara garis besar analisis kegunaan tertinggi dan terbaik ini meliputi suatu kajian untuk kelayakan legalitas dan kelayakan finansial untuk menghasilkan keuntungan yang paling maksimal.
Menerangkan prosedur penilaian yang digunakan. Karena tujuan dari pembuatan laporan adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca/klien yang pada umumnya bukan seorang penilai, maka dalam pelaporan penilaian perlu diuraikan mengenai prosedur penilaian yang digunakan. Jadi setiap pendekatan penilaian yang dipakai secara garis besar harus diuraikan sehingga pembaca mempunyai gambaran mengenai proses bagaimana kesimpulan nilai tersebut dibuat.
Menyediakan/menampilkan data pendukung dan alasan-alasan yang mendukung analisis, opini dan kesimpulan nilai dalam laporan. Ketersediaan data pendukung merupakan hal pokok yang perlu ada untuk mendukung analisis dalam menghasilkan suatu kesimpulan nilai.
Hampir semua pendekatan penilaian (valuation approachs) pasti memerlukan dan mendasarkan pada informasi dari properti pembanding dan juga data-data pendukung lain, baik data instansional maupun non instansional yang dapat memperkuat opini dan pengambilan kesimpulan nilai. Semua data pembanding dan data pendukung ini harus dimuat di dalam laporan penilaian sebagai bukti yang memperkuat kesimpulan nilai.
Menerangkan semua asumsi dan batasan (limiting condition) yang mempengaruhi analisis, opini dan kesimpulan nilai. Penilai dalam memberikan opini nilainya tidaklah mutlak benar dan bisa berlaku sepanjang masa serta dapat digunakan untuk berbagai jenis kepentingan. Untuk membatasi tanggung jawab penilai, maka perlu dibauat bagian khusus yang menerangkan sebatas mana penilai bertanggung jawab atas opini nilai yang diberikannya. Dalam asumsi dan batasan ini penilai menyatakan batas tanggung jawabnya, sehingga bila ada suatu kasus tertentu yang melibatkan suatu perkara hukum di pengadilan, maka tanggungjawab penilai hanyalah sebatas apa yang diuraikan dalam asumsi dan batasan (limiting condition) yang dinyatakan dalam laporan penilaian.
Laporan penilaian dapat disajikan dalam bentuk:
1. Laporan Lisan;
Laporan Lisan (Oral Report) adalah laporan lisan dari penilai. Laporan ini diperlukan jika keadaannya mendesak atau klien tidak memerlukan pelaporan secara tertulis. Namun bentuk laporan penilaian lisan dalam praktek saat ini jarang sekali dilakukan.
Laporan penilaian walau disajikan secara lisan, namun tetap harus disajikan secara akurat. Adapun hal yang paling minimal harus dilaporkan adalah:
• Pendahuluan
Dalam pendahuluan disajikan mengenai identifikasi klien, obyek yang dinilai, maksud dan tujuan penilaian, definisi standar nilai, tanggal efektif penilaian.
• Asumsi dan Syarat Pembatas
Dalam asumsi dan syarat pembatas diuraikan mengenai asumsi yang dipakai dalam melakukan analisa penilaian dan syarat apa saja yang membatasi.
• Pernyataan Independensi
Dalam pernyataan ini diuraikan bahwa Penilai dalam melakukan penilaian tidak memiliki kepentingan apapun atas obyek penilaian dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
• Kesimpulan Penilaian
Dalam kesimpulan penilaian dsajikan berapa nilai yang dihasilkan pada suatu tanggal tertentu berdasarkan penugasan yang diberikan.
2. Laporan tertulis;
• Laporan dalam bentuk surat;
• Laporan lengkap tertulis.
2.1 Laporan dalam bentuk Surat (Pernyataan Penilai)
Laporan penilaian dalam bentuk surat (Letter Report) adalah laporan penilaian yang berbentuk surat dan berisikan hasil investigasi dan analisis yang disimpulkan dalam sebuah surat. Estimasi nilai disampaikan melalui suatu surat yang disahkan dengan tanda tangan penilai. Surat ini biasanya hanya berisi opini nilai dari properti, tanpa disertai dukungan data, informasi dan analisis.
Laporan semacam ini biasanya disiapkan atas permintaan pelanggan (klien), namun setidaknya laporan berbentuk surat ini berisikan tentang:
1. Kontrak Kerja
2. Maksud dan tujuan dilakukan penilaian
Pernyataan mengenai tujuan penilaian. Tujuan penilaian dalam hal ini harus scara jelas dinyatakan, karena terkait dengan jenis nilai yang dihasilkan. Seperti contoh jika tujuan penilaian adalah untuk jual-beli, maka jenis nilai yang dihasilkan adalah nilai pasar wajar (fair market value).
3. Ruang lingkup penilaian
4. Sumber data
Sumber data yang digunakan oleh penilai harus diungkapkan secara garis besar. Nama-nama dan jenis data yang digunakan. Tidak perlu seluruh lampiran data diungkapkan.
5. Jangka waktu penilaian
6. Diskripsi mengenai bentuk analisis yang dipakai. Meskipun tidak secara detail diuraikan, deskripsi mengenai bentuk analisis yang dipakai adalah perlu dikemukakan, setidaknya dikemukakan mengenai pendekatan penilaian yang digunakan untuk menganalisis nilai.
7. Tanggal penilaian, tanggal pelaporan dan semua batasan-batasan masalah (limiting condition).
Tanggal penilaian dalam hal ini adalah terkait dengan tanggal dimana nilai tersebut ditetapkan, sedangkan tanggal pelaporan adalah lebih menunjukkan pada tanggal aktual dibuatnya laporan tersebut. Mengenai batasan masalah, meskipun singkat juga perlu dinyatakan dalam laporan penilaian berbentuk surat ini karena hal ini penting untuk menunjukkan tanggung jawab dan wewenang penilai atas opini nilai yang dihasilkannya.
8. Sertifikasi nilai/pernyataan tentang kesimpulan nilai. Sertifikasi nilai ini merupakan bagian terpenting dari surat. Dalam hal ini penilai perlu menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis yang seksama dengan memperhatikan semua data dan berdasarkan pada pengalaman, maka penilai memberikan opini besarnya nilai properti yang dianalisis.
9. Kesimpulan nilai;
Laporan penilaian dalam bentuk surat, kerapkali digunakan untuk melaporkan hasil penilaian yang bersifat harus diungkapkan dengan segera dalam kondisi tertentu. Setelah laporan dalam bentuk surat disampaikan, dalam jangka waktu singkat laporan tertulis lengkap harus disampaikan.
2.2 Laporan Tertulis
Dalam laporan lengkap tertulis, disajikan secara terperinci hal-hal berikut :
a. Surat Pernyataan Penilai (Sertifikasi)
Surat Pernyataan Penilai adalah surat yang ditujukan kepada semua pihak terkait mengenai hal-hal dasar yang berhubungan dengan penugasan yang dilakukan oleh Tim Penilai. Dengan surat ini diharapkan semua pihak dapat mengetahui beberapa hal prinsip yang menjadi landasan hukum bagi Tim Penilai dalam melakukan penugasan dan saat telah berakhirnya penugasan.
Surat Pernyataan Penilai berfungsi sebagai :
Dasar hukum dilakukan penilaian;
Identifikasi Tim Penilai;
Ruang lingkup penilaian;
Asumsi dan syarat-syarat pembatasan penugasan penilaian;
• Diasumsikan bahwa penilai tidak memiliki kepentingan apapun terhadap obyek penilaian;
• Data yang digunakan : Penilai bergantung pada data dan akses pada sumber data yang tersedia;
• Validitas penilaian : Hasil penilaian hanya berlaku pada tanggal penilaian dan untuk tujuan penilaian.
Kesimpulan Nilai
Tanggal dilakukan penilaian;
Tanda tangan.
b. Daftar ISI
1. Surat Pengantar
Sering juga disebut sebagai Letter of Transmital merupakan surat yang dibuat oleh penilai kepada pelanggan (klien) yang menyatakan bahwa penilai telah melakukan penilaian atas obyek yang ditunjuk pada tanggal tertentu dan untuk tujuan tertentu serta pernyataan/opini nilai atas obyek yang dinilai. Surat pengantar ini berisikan antara lain :
tanggal surat dan pihak yang memberi tugas.
Dalam surat pengantar ini harus disebutkan dasar dari pemberian tugas untuk melaksanakan penilaian, yaitu dari pihak mana dan bersasarkan surat nomor dan tanggal berapa.
pernyataan identifikasi kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam properti yang dinilai, yaitu terkait dengan jenis hak dan batasan-batasan apa saja yang dinyatakan ke atas hak yang dimiliki.
pernyataan mengenai telah dilaksanakannya penugasan penilaian. Hal ini penting sebagai pernyataan tanggungjawab penilai terhadap tugas yang diberikan klien kepadanya.
tanggal penilaian efektif, yaitu tanggal di mana nilai tersebut ditetapkan dan biasanya tanggal penilaian disesuaikan dengan tujuan penilaiannya.
estimasi nilai, yaitu pernyataan mengenai besarnya nilai usaha yang diestimasi.
batasan masalah, menyatakan batasan wewenang dan tanggungjawab yang ditanggung penilai.
tanda tangan penilai.
2. Surat Pernyataan Penilai (Sertifikasi)
Yaitu sertifikasi nilai yang disertai dengan pernyataan nilai akhir, tanda tangan penilai, tanggal dan cap/stempel dengan uraian/pernyataan
3. Bab I : Ringkasan Eksekutif
Rangkuman ini diperlukan bila laporan terlalu panjang dan terdiri dari beberapa obyek. Mengawali laporan penilaian, penilai juga harus menyatakan siapa pemberi tugas, untuk siapa laporan tersebut dibuat dan menyatakan bahwa properti telah dilakukan pemeriksaan/inspeksi. Penilai dalam hal ini juga dapat menegaskan batasan-batasan penggunaan laporan penilaian tersebut dan tanggungjawab penilai hanya terbatas pada tujuan sebagaimana dinyatakan dalam laporan, kecuali klien telah meminta ijin terlebih dahulu kepada penilai.
Ringkasan eksekutif adalah uraian singkat yang meliputi :
• Latar belakang berdirinya perusahaan;
• Latar belakang diperlukannya penilai untuk tujuan tertentu dari perusahaan;
• Dasar dari Penilai dalam melakukan penilaian. Dasar yang digunakan dalam melakukan penilaian khususnya di Indonesia adalah Standar Penilaian Indonesia Tahun 2002, KEPI dan standar internasional lainnya yang relevan terhadap penilaian yang dilakukan;
• Independensi dari Penilai;
• Definisi dan istilah yang digunakan oleh Penilai.
Umumnya definisi dan istilah yang digunakan adalah yang berlaku umum dalam profesi penilai.
4. Bab II : Syarat-syarat dan Kondisi Pembatas
Asumsi dan kondisi pembatas ini dinyatakan dalam laporan adalah bertujuan untuk melindungi penilai terhadap kemungkinan penyalahgunaan hasil penilaian yang telah dilakukan. Asumsi dan kondisi pembatas yang sering dimasukkan dalam laporan penilaian antara lain adalah asumsi “pasar wajar”opini yang berbeda, dasar yang dipakai dalam menentukan nilai saham, tanggal dan tujuan yang spesifik dilakukannya penilain serta batas tanggungjawab penilai.
Syarat-syarat dan kondisi pembatas adalah ruang lingkup yang digunakan oleh penilai dalam melaksanakan kegiatan. Syarat-syarat dan kondisi pembatas sangat diperlukan agar tujuan dan maksud penugasan dapat terlaksana dengan baik. Dan juga dapat mengurangi bias penilai dalam melaksanakan kegiatan.
Syarat-syarat dasar yang dibutuhkan seorang penilai adalah :
1. Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh KAP selama 3 tahun;
2. Laporan Internal yang dikeluarkan oleh internal audit yang telah disahkan oleh manajemen;
3. Data-data primer dan sekunder perusahaan;
4. Data-data lain yang telah dipublikasikan dan diyakini keakuratannya;
5. Bila data yang diberikan oleh perusahaan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya maka hal tersebut diluar tanggung jawab penilai;
6. Jika ada beberapa jenis mata uang yang digunakan maka penilaian harus menggunakan mata uang rupiah (idr) dengan melakukan konversi atas mata uang asing pada tanggal tertentu oleh lembaga pemeringkat independen;
7. Sejarah/riwayat pertumbuhan perusahaan;
8. Produk/jasa yang dihasilkan;
9. Pasar dan pemasaran;
10. Manajemen;
11. Aktiva baik yang berwujud maupun tidak berwujud;
12. Tinjauan umum tentang makro ekonomi, industri dan perusahaan yang bersangkutan;
13. Transaksi kepemilikan usaha dari obyek penilaian yang pernah terjadi sebelumnya.
14. Sensitivitas terhadap faktor pengaruh musim atau siklus usaha;
15. Persaingan;
16. Sumber data yang digunakan.
Kondisi pembatas umumnya terbagi menjadi 2 kategori :
Yang diakibatkan oleh pihak manajemen
Pembatasan yang dilakukan oleh pihak manajemen bisa terjadi karena adanya penafsiran yang berbeda mengenai suatu hal ataupun kesengajaan dari pihak manajemen untuk tidak memberikan informasi sesuai kondisi yang sebenarnya.
Yang disebabkan oleh keadaan diluar kekuasaan kedua belah pihak.
Pembatasan akibat oleh keadaan diluar kekuasaan kedua pihak dapat lebih diterima apabila ada informasi yang detail.
Pengaruh atas ruang lingkup dapat memberikan kesimpulan hasil penilaian yang berbeda. Oleh karena itu bila pembatasan ruang lingkup penilaian harus diungkapkan dalam laporan penilai independen.
5. Bab III : Uraian mengenai Perusahaan
a. Informasi mengenai perusahaan dan legalitas perusahaan.
Pada umumnya yang patut menjadi perhatian dari penilai adalah kegiatan utama dari perusahaan, lokasi perusahaan dan ijin dari pihak terkait atas usaha yang sedang berjalan;
b. Pengurus dan pemegang saham;
Perubahan anggaran dasar mengenai pemegang saham harus diketahui oleh penilai dan komposisi pemegang saham sehingga penilai mempunyai data awal untuk menentukan diskon atau premi sesuai kepentingan penilaian.
c. Organisasi dan manajemen perusahaan;
d. Kondisi operasional perusahaan dan usaha yang sedang berjalan;
e. Analisa keuangan perusahaan;
f. Resiko usaha.
6. Bab IV : Uraian mengenai Industri
Kondisi dan Analisis Industri;
Prospek Industri;
Analisa SWOT
7. Bab V : Metodologi dan Asumsi Penilaian
Dalam bagian ini penilai menguraikan secara ringkas semua metode penilaian yang digunakan, baik secara pendekatan aktiva, pendekatan pendapatan (income approach) maupun pendekatan perbandingan data pasar (market data approach) yang seusai dengan tujuan penilaian tersebut dilakukan. Selain menguraikan mengenai metode penilaian yang digunakan adalah cukup penting juga untuk menyatakan bangaimana proses dan hasil penilaian yang dihasilkan serta rekonsiliasi nilai dari metode-metode penilaian yang dipakai.
Pendekatan dalam penilaian;
Pemilihan metodologi;
Premi Kendali dan Diskon Minoritas;
Asumsi Penilaian (kondisi as is);
Asumsi Penilaian (kondisi value enhancement).
8. Bab VI : Perhitungan Penilaian
Menjelaskan metode yang digunakan
Apabila perusahaan dalam keadaan going concern, maka harus dihitung berdasarkan kondisi value enhancement.
Diberikan penjelasan identitas pembanding atas objek penilaian.
Melakukan diskon dan premi dengan perhitungan yang jelas.
Melakukan rekonsiliasi nilai.
9. Bab VII: Kesimpulan dan Saran
• Penilai memberikan kesimpulan hasil penilaian berdasarkan saat dan waktu tertentu yang dimintakan.
• Penilai juga memberikan beberapa nilai berdasarkan saat dan waktu tertentu berdasarkan metode yang digunakan dalam menilai kondisi perusahaan.
• Jika penilai mempunyai pendapat tambahan atas asumsi yang terjadi pada saat ini yang dapat memberikan pengaruh terhadap hasil penilaian, maka Penilai pun harus memberikan saran.
Dari berbagai indikasi nilai yang dihasilkan dari tiap metode yang dipakai serta setelah melakukan rekonsiliasi nilai, maka selanjutnya dalam bagian ini penilai menyampaikan keputusan tentang opini nilai yang dihasilkannya. Kesimpulan nilai properti ini harus disertai tandatangan asli dari penilai dan sebaiknya antara halaman kesimpulan nilai dan tanda tangan penilai tidak terdapat pada halaman yang terpisah, yaitu untuk tujuan keamanan dan guna menghindari adanya pemalsuan.
10. Tabel dan Gambar
Dalam Laporan Hasil Penilaian diperlukan beberapa tabel yang akan dipakai oleh pengguna untuk mengetahui data yang digunakan oleh Penilai sebagai bahan melakukan analisa.
Tabel-tabel ini harus disusun dengan rapi dari sesuatu yang bersifat umum sampai dengan khusus sesuai urutan uraian dalam laporan. Pada umumnya, table yang dilampirkan adalah :
• Komposisi Pemegang Saham
• Pertumbungan industri
• Neraca
• Laba Rugi
• Laba di Tahan
• Rasio Keuangan
• Nama perusahaan pembanding
• Posisi objek terhadap industri sejenis
• Perhitungan rekonsiliasi
• Review kepatuhan terhadap industri sejenis
• Matriks SWOT
11. Lampiran
Surat Pernyataan Penilai
xxxx
1. Penilai Publik Terdaftar
Alamat
12. Tanggal
13. Judul Laporan Laporan Penilaian Saham PT xxxx
14. Ditujukan
15. Paragraf Pendahuluan
(pernyataan dasar hukum, tujuan dan data aktual)
Berdasarkan Kontrak Kerja No … tanggal … tentang … antara … dan … , kami telah melakukan penilaian atas saham PT xxx per tanggal …. atas permintaan PT xxx atau PT yyy atau dll. Data yang kami gunakan dalam melakukan penilaian adalah Lap Keu PT xxx yang telah diaudit KAP selama 3 terakhir dan Lap Internal PT xxx yang dikeluarkan oleh Komite Internal Audit dan disahkan oleh Komisaris PT xxx (untuk perusahaan terbuka) serta data-data lainnya yang terkait dalam melakukan penilaian baik yang dikeluarkan oleh PT xxx maupun yang telah dipublikasikan oleh pihak lain yang dapat dipercaya keakuratan informasi yang diberikan.
16. Paragraf Ruang Lingkup
(pernyataan batasan dan kondisi penilai)
Kami telah melakukan penilaian sesuai dengan Standar Penilai Indonesia Tahun xxx dan Kode Etik Penilai Indonesia atas saham PT xxx sebagai suatu usaha yang xxx (going concern atau pailit atau lainnya). yang merupakan perusahan xxx (terbuka atau tertutup). Kami melakukan peninjauan lapangan pada tanggal xxx s.d xxx dan mengadakan wawancara dengan manajemen dan pihak lain yang terkait dan relevan dalam melakukan penilaian untuk mendapatkan informasi yang memadai mengenai obyek penilaian. Data yang kami berupa data primer dan sekunder serta data khusus dan spesifik baik dari pihak manajemen maupun pihak lain yang telah dipublikasikan dan telah diyakini secara umum keakuratannya. Bila ternyata data-data yang kami peroleh tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya, maka hal tersebut diluar tanggung jawab kami.
17. Paragraf Metodologi dan Informasi Analisa
(pernyataan teknik penilaian atas tujuan dan)
Penilaian atas PT xxx bertujuan untuk menentukan Nilai Pasar dari saham PT xxx dengan memperhatikan semua data yang kami peroleh untuk mengambil kesimpulan mengenai nilai saham PT xxx. Pendekatan dan metodologi penilaian yang kami lakukan adalah pendekatan dan metodologi sesuai dengan asumsi awal terhadap pt xxx pada saat kondisi dan keadaan penilaian dilakukan. Kami melakukan aplikasi discount for lack of marketability sebesar xxx % atau premi of marketability sebesar xxx %
18. Paragraf Pendapat
(kesimpulan)
Berdasarkan analisa kami, kami berkesimpulan bahwa nilai pasar wajar atas saham PT xxx adalah sebagai berikut :
Tanggal Kondisi Nilai Pasar Wajar
as is
value enhancement
khusus
19. Nama Penilai
20. Tanda Tangan Penilai
(beserta nomor ijin registrasi pemerintah)
21. Tanggal Laporan Penilaian
(tanggal berakhirnya penilaian lapangan)
Bagian Laporan Penilaian
1. KOP Surat
Dalam kop surat ini dijelaskan identitas penilai beserta alamat dan dasar hukum yang memberikan informasi mengenai legalitas untuk melakukan penilaian. Pada umumya dalam dunia profesi, nama kantor tersebut akan bertanggung jawab secara hukum dan jabatan atas kualitas seorang Penilai berdasarkan standar profesi dan kode etik profesi.
2. Tanggal
Tanggal adalah menyatakan bahwa saat dan waktu tertentu,laporan penilaian telah secara sah diterbitkan oleh Penilai kepada pemberi penugasan agar memudahkan pengarsipan pada saat tertentu.
3. Judul
Dalam judul diungkapkan tujuan penilaian. Dalam banyak kasus penilaian bukan hanya ditujukan pada penilaian saham PT xxx dalam kondisi normal, kemungkinan juga ketika dalam keadaan pailit ataupun going concern PT xxx diragukan. Sehingga ketika membaca judul Laporan Penilaian, setiap pembaca sudah dapat memprediksikan keadaan yang sebenarnya terjadi.
4. Ditujukan
Penilai harus memberikan data mengenai Laporan Hasil Penilaian ditujukan kepada pihak yang berhak ataupun yang terkait. Dalam membuat kontrak kerja, ada kemungkinan penugasan diberikan oleh beberapa pihak, sehingga harus jelas bahwa Laporan Hasil Penilaian ini ditujukan kepada pihak yang mempunyai kepentingan. Dan Laporan Hasil Penilaian harus identik dan sama kepada berbagai pihak.
5. Paragraf Pendahuluan
Paragraf pendahuluan dari laporan ini ditujukan untuk tiga hal. Pertama, paragraf ini merupakan pernyataan dari Penilai bahwa penilai telah melakukan penilaian dengan adanya kontrak kerja yang sah antara pemberi penugasan dengan penilai.
Kedua, paragaraf ini menjelaskan tujuan dari penilaian tersebut dalam ruang lingkup tertentu yang diminta oleh pemberi penugasan. Ketiga adalah menjelaskan data-data yang digunakan oleh Penilai dalam melakukan penugasan baik data yang didapat dari pihak pemberi penugasan ataupun data lain yang dipublikasikan sehingga semua pihak yang mempunyai kepentingan atas Laporan Hasil Penilaian dapat mengetahui dan tidak mempunyai asumsi diluar data yang digunakan oleh Penilai.
Untuk usaha yang berbentuk badan hukum perusahaan yang telah dipasarkan di bursa efek, harus juga memberikan Laporan Audit Internal yang telah disahkan oleh Komisaris Perusahaan sebagai persyaratan dalam melakukan penilaian.
6. Paragraf Ruang Lingkup
Paragraf ini menjelaskan dua hal yaitu pernyataan faktual tentang yang dilakukan oleh Penilai, bahwa Penilai melakukan penilaian sesuai kaidah Ilmu Penilaian dengan standar-standar penilaian yang diterapkan secara umum di Indonesia beserta Kode Etik yang harus dipegang oleh Penilai. Dalam paragraf ini dijelaskan pula jangka waktu penilaian dilakukan
Kedua menjelaskan tanggung jawab dari Penilai atas data-data yang didapat oleh Penilai baik dari pihak pemberi penugasan dan data-data lain yang dipublikasikan. Penilai tidak bertanggung jawab atas kebenaran data yang telah diberikan ataupun yang dipublikasikan jika hasil penilaian tidak sesuai dengan kondisi yang nyata.
7. Paragraf Metodologi dan Informasi Analisa
Paragraf ini menjelaskan metodologi yang dilakukan oleh Penilai dalam melakukan penilaian terhadap data-data yang diperoleh. Kemudian Penilai juga memberikan informasi mengenai hasil analisa yang telah dilakukan sesuai metodologi penilaian sesuai kaidah akademis.
8. Paragraf Pendapat
Paragraf terakhir dalam laporan ini menyatakan kesimpulan Penilai berdasarkan hasil penilaian. Bagian ini sangat penting karena pada paragraf inilah seorang penilai memberikan pendapat. Hal yang harus dipahami oleh semua pihak adalah paragraf pendapat dengan tegas menyatakan sebuah pendapat, bukan pernyataan mutlak ataupun jaminan. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kesimpulan tersebut didasarkan atas pertimbangan professional.
9. Nama Penilai
Nama Penilai harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Penilaian. Didalam sebuah kantor penilai ada beberapa penilai yang bergabung dan bekerja sama, sehingga diperlukan identitas yang jelas mengenai Penilai yang melakukan penugasan. Jika terjadi sesuatu yang berhubungan dengan hasil penilaian yang harus dikonfirmasikan kepada kantor penilai, maka nama orang tersebut harus dapat memberikan keterangan mengenai hasil penilaian yang dilaksanakan.
10. Tanda Tangan
Tandan tangan Penilai berfungsi untuk memperkuat Laporan Hasil Penilaian. Dan hasil penilaian akan dinyatakan diterima secara hukum dengan adanya tanda tangan dari Penilai tersebut.
11. Tanggal Penilaian
Penilai harus mencantumkan tanggal atas pendapat nilai yang dikeluarkan, sehingga semua pihak dapat langsung mengetahui pendapat Penilai pada saat dan kondisi tertentu.
gtp 7 apr 07
Sunday, July 8, 2007
Peningkatan Pemanfaatan Barang Milik Negara
Latar Belakang
A. Dasar Hukum
UUD 1945 Pasal 23
UUD 1945 Pasal 33
UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D
B. Tugas Pokok Dan Fungsi Kementerian Keuangan
”perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan di bidang Kekayaan Negara".
Berkedudukan sbg PENGELOLA BARANG MILIK NEGARA (implikasi UU No. 17/2003, UU No. 1/2004 dan peraturan pelaksanaannya terkait : dokumen kepemilikan, penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penilaian, dan pengamanan).
Perlunya penanganan secara lebih intens dan komperehensif mengenai kekayaan Negara.
C. MAKSUD:
Reorientasi Fungsi: Menangani secara khusus mengenai fungsi-fungsi terkait di bidang Kekayaan Negara dalam satu wadah, yaitu DJKN dalam rangka pelaksanaan fungsi fiskal pemerintah.
Revitalisasi Fungsi: penanganan kekayaan Negara dalam rangka mewujudkan optimalisasi penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan, peningkatan efektivitas dan profesionalisme pengelolaan, serta akurasi nilai kekayaan Negara.
D. TUJUAN:
Fokus pada penanganan Barang Milik Negara yang terdiri dari Pemerintah Pusat/Daerah dan BUMN/D
Efektif dalam pengelolaan dan/atau penanganan beban kerja;
Efisien dalam Keuangan Negara;
Optimal dalam menggunakan sumber daya (resourcess)
Tercapainya tujuan yang diharapkan sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E. Ruang Lingkup
Tanah dan Bangunan yang termasuk dalam Barang Milik Negara dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan.
a. Barang Milik Negara : Tanah dan Bangunan milik Kementerian, Badan, Lembaga, Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah.
b. Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Tanah dan Bangunan milik BUMN/D
Ruang lingkup Tanah dan Bangunan adalah Wisma, Mess, Penginapan, Apartemen dan Perumahan Milik Negara yang terdiri dari Pemerintah Pusat/Daerah serta BUMN/D
Kerangka Pemikiran
A. Gambaran Umum
Salah satu konsep yang menarik dalam Pengelolaan Kekayaan Negara adalah tentang kondisi pengelolaan kekayaan Negara yang diinginkan. Pengelolaan kekayaan Negara perlu dilakukan secara proporsional dengan memberikan perhatian yang seimbang kepada faktor ekonomi, faktor sosial dan faktor ekologi. Tanpa dapat dihindari bahwa ketiga dimensi tersebut bersifat mutual exclusive.
Dengan latar belakang tersebut dan dengan berasumsi bahwa lahan sebagaimana ruang lingkup dalam bab I tersebut diatas, maka lahan dapat dimanfaatkan dengan lebih mengakomodasi ketiga dimensi disebut di atas, tulisan ini bertujuan untuk mempresentasikan kerangka konseptual guna memahami pemanfaatan lahan yang dalam tulisan ini disebut pemanfaatan lahan multifungsional.
Pada saat ini, dapat dilihat banyaknya aset wisma, mess, penginapan, apartemen dan perumahan milik Negara (AWN/Aset Wisma Negara) yang secara tidak langsung hanya digunakan oleh instansi tertentu untuk tujuan tertentu misalnya pendidikan dan latihan, tempat tinggal dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, tidak diketahui data yang dapat mendukung akan pemanfaatan secara maksimal atas AWN secara multifungsional.
Dengan tulisan ini diharapkan dapat membangkitkan diskusi atas pemikiran baru dan menjadi tantangan guna mencari pola pemanfaatan AWN yang lebih sensitif terhadap pluralitas masyarakat. Tak pelak lagi, DJKN yang dapat dikatakan setiap hari menangani masalah peruntukan lahan khususnya AWN-- berpotensi menjadi salah satu lembaga yang dapat membantu merealisasikan hal itu.
B. Gambaran Khusus
Pemanfaatan AWN secara langsung memiliki korelasi terhadap tugas, pokok dan fungsi Kementerian Keuangan RI yang dalam pelaksaan sangat berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baik dari sisi Pembiayaan dan Penerimaan Negara.
Secara sekilas, dapat dipastikan bahwa anggaran setiap fungsi Negara dan Pemerintah yang memakai APBN dalam pemanfaatan lahan untuk AWN akan sangat kecil jika dibandingkan dengan anggaran tiap-tiap fungsi Negara dan Pemerintah. Dengan mencoba mengupas lebih dalam penggunaan APBN maka kita dapat mencoba menghitung APBN yang dikeluarkan pemerintah dalam aspek sebagai berikut :
1. Skema Alur Pemanfaatan AWN
Dari skema 1. Alur Pemanfaatan Lahan Milik Negara dapat digambarkan secara sederhana bagaimana korelasi AWN mempengaruhi pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah.
Secara sederhana perhitungan biaya yang dikeluarkan setiap fungi Negara dan Pemerintah dipengaruhi oleh 6 (enam) faktor tersebut :
1. Biaya Pembelian Lahan
Tiap fungsi Negara dan Pemerintah meminta anggaran untuk pembelian lahan dengan tujuan memiliki lahan yang dapat digunakan secara ekslusif bagi kepentingan masing-masing.
2. Biaya Pembangunan
Setelah dilakukan pembelian lahan, maka fungsi terkait akan kembali meminta anggaran untuk pembangunan diatas lahan tersebut.
3. Biaya Renovasi
Kemudian secara berkala, maka akan ada biaya yang diambil dari APBN untuk melakukan renovasi terhadap AWN tersebut.
4. Biaya Pemeliharaan
Dapat dipastikan bahwa setiap tahun akan selalu ada anggaran Negara yang akan digunakan untuk pemeliharaan AWN tersebut.
5. Biaya Pendidikan dan Latihan
Sangat menarik memasukkan biaya pendidikan dan latihan pada biaya AWN. Hal didasarkan pada tujuan utama pembangunan AWN pada umumnya untuk tujuan pendidikan dan latihan.
Jadi sangat relevan jika memasukkan biaya pendidikan dan latihan dalam biaya bangunan milik Negara dengan terlebih dahulu melakukan perhitungan korelasi antara jumlah DikLat yang dilakukan oleh fungsi terkait dengan volumen penggunaan AWN.
6. Biaya lain-lain
Biaya lain-lain adalah biaya yang harus dikeluarkan pemerintah tersebut diatas dimana pemerintah tidak mendapat keuntungan atas biaya yang telah dikeluarkan.
Secara jamak diketahui, bahwa AWN dipakai oleh pihak Non-Pemerintah dengan melakukan pembayaran yang secara sederhana, pendapatan tersebut tidak masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Secara kasat mata, dapat diprediksi bahwa pengeluaran Negara yang diakibatkan oleh AWN mempunyai nilai yang sangat signifikan jika semua biaya dari tiap fungsi Negara dan Pemerintah disatukan dalam klasifikasi mata anggaran yang sama. Sedangkan di sisi pendapatan Negara, AWN sama sekali tidak diharapkan. Hal ini disebabkan adanya pemikiran bahwa AWN tidak berfungsi memberikan pemasukan kepada Kas Negara.
Pemikiran lainnya adalah biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk AWN tersebut dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat maka terjadi multiply economic effect yang lebih baik bagi perekonomian.
Sebagai contoh adalah disekitar Kompleks Departemen Keuangan RI Lapangan Banteng dan Wahidin banyaknya penginapan ataupun mess TNI dengan kondisi yang sangat kontras. Ada yang kurang layak untuk digunakan dan ada yang dalam kondisi sangat baik. Yang menjadi perhatian utama adalah tingkat pemanfaatan atas AWN tersebut dibandingkan dengan biaya dari APBN yang dikeluarkan untuk AWN tersebut.
Jika AWN tersebut dapat disatukan maka, ada kemungkinan Negara dapat melakukan sesuatu yang dapat memaksimalkan nilai dari AWN tersebut seperti sewa guna, sewa pinjam, ataupun lainnya yang mengedepankan multifungsional atas AWN sebagai bagian dari pendapatan Negara dan pelayanan pada masyarakat.
Contoh lain adalah Flat di Kompleks Lembaga Adiminstrasi Negara Pejompongan Jakarta. Dengan adanya flat yang baru, maka flat yang lama sudah tidak digunakan lagi. Sedangkan biaya-biaya atas flat lama masih diambil dari APBN. Flat tersebut disewakan secara terselubung dengan pemasukan kepada para petugas keamanan.
Paradigma Baru
A. Kerangka Umum
Saat ini belum terwujud adanya sistem Pengelolaan Kekayaan Negara yang komprehensif, terutama yang menyangkut inventarisasi Kekayaan Negara dari seluruh sektor. Kelemahan dalam inventarisasi Kekayaan Negara menyebabkan pemerintah tidak memiliki data Kekayaan Negara secara menyeluruh yang memadai. Selain itu Neraca Kekayaan Negara yang menggambarkan keadaan Kekayaan Negara sebenarnya belum dapat diwujudkan. Oleh karena itu akuntabilitas pengelolaan Kekayaan Negara masih sangat karena pelaporan nilai kekayaan negara sebagai hasil dari proses inventarisasi belum dilaksanakan dengan baik. Hal ini menyebabkan best practise dalam bidang pengelolaan Kekayaan Negara belum dapat terwujud dalam rangka pengamanan Kekayaan Negara.
Pengelolaan Kekayaan Negara selama ini cenderung belum proposional. Suatu Pengelolaan Kekayaan Negara yang proposional dalam rangka mewujudkan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat memerlukan keserasian antara tiga faktor, yaitu: (i) faktor ekonomi, (ii) faktor sosial, (iii) faktor ekologi.
Pengelolaan Kekayaan Negara saat ini masih lebih mengedepankan faktor ekonomi dari sisi pembiayaan dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi semata-mata dan kurang terarah pada faktor sosial dan faktor ekologi. Ditambah dengan banyaknya anggaran yang terbuang sia-sia dan pertumbuhan ekonomi tersebut belum dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan dalam pengelolaan Kekayaan Negara ini menyebabkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sulit untuk diwujudkan.
Pembagian kewenangan yang tidak selalu jelas dalam pengelolaan Kekayaan Negara menimbulkan potensi konflik, baik antar sektor maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta BUMN/D. Hal ini disebabkan karena banyaknya peraturan perundang-undangan sektoral yang terkait dengan pengelolaan kekayaan negara yang belum didukung dengan koordinasi yang mantap, harmonisasi pengelolaan Kekayaan Negara, petunjuk yang jelas, dan pengawasan yang tegas
Kekayaan Negara meliputi dua cakupan, yaitu: domein publik dan domein privat. Kekayaan negara dalam arti domein privat yang merupakan ruang lingkup tulisan ini merupakan kekayaan yang dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kekayaan negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari pasal 23 UUD 1945 dan juga digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Aset Management
Konteks universal memberikan pengertian pengelolaan aset sebagai:
A resouces owned of controlled by an entriprises as a result of past event and from which some future economic benefit(s) can be expected to flow to enterprise. Ownership of an asset itself is an intangible. However, the asset owned may be tanggible or intangible (international valuation standar 2003)
Sumber daya yang dimiliki dan dikelola oleh sebuah perusahaan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Sumber daya itu sendiri bisa berwujud tangible maupun intangible. Dalam konteks ini maka fungsi perusahaan diartikan menjadi fungsi negara.
Pemahaman manajemen aset lebih jelasnya sebagai berikut “ optimizing the utilization of asset in terms of service benefit and financial return” . Dengan demikian ada tiga perngertian yng harus dilakukan yaitu:
- meminimalkan biaya operasional
- memaksimalkan ketersediaan aset
- memaksimalkan kegunaan aset.
Untuk mencapai pengelolaan aset yang demikan diperlukan data yang akurat mengenai aset itu sendiri dan adanya usaha pengelolaan dan pengawasan atas penambahan, pergeseran, perubahan dan pengurangan atas multifungsional AWN yang terjadi.
Dengan demikan tujuan daripada pengelolaan aset itu sendiri adalah :
1. Menyediakan layanan yang dibutuhkan yaitu terfokus pada hasil dan tepat dalam penggunaan dan perawatan aset
2. Optimalisasi potensi layanan yang dihasilkan aset. Hal ini berupa pengembangan manajemen atas aset yang ada, fleksibilitas aset dan penggunaan skala ekonomis.
3. Maksimalisasi nilai aset dimana nilai dan manfaat aset harus dijaga serta pemilihan partnership yang sesuai.
4. Kontribusi pada penerimaan negara.
5. Pemenuhan responsibiltas dan akuntabilitas. Hal ini dapat terwujud karena ada kejelasan atas kepemilikan dan kontrol atas aset serta ada laporan pertanggungjwaban.
B. Kerangka Khusus
Dalam kerangka umum, mencoba memberikan paradigma baru tentang pemanfaatan atas AWN sebagai berikut :
2. Skema Alur Pemanfaatan AWN
Dalam skema 2, pemikiran sederhana adalah :
1. DJKN melakukan Inventarisasi Data atas lahan milik Negara yang mempunyai fungsi terkait dengan AWN dan jika memungkinkan dengan menghitung lahan kosong yang tidak digunakan oleh Negara.
2. Melakukan penelitian akan efisiensi dan efektivitas atas penggunan AWN secara multifungsional.
3. Melakukan klasifikasi ulang atas semua lahan milik negara sehingga tidak ada lagi AWN. Dalam hal ini semua AWN dikuasakan kepada DJKN dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) sebagai pengelola.
4. Membentuk BLU dalam mengelola AWN sehingga Negara dan Pemerintah dapat mengkontrol pemanfaatan atas AWN.
Dengan adanya skema seperti diatas, diharapkan DJKN dapat meningkatkan pemanfaatan Barang Milik Negara dengan multifungsional yang maksimal.
Pendalaman Skema 2
Poin 1
DJKN melakukan hal teknis sebagai berikut :
1. Inventrisasi data AWN tiap fungsi Negara dan Pemerintah.
2. Meminta data terbaru (Update Data) dari fungsi terkait.
3. Data-data dari fungsi terkait dilampirkan pula dengan :
a. Status Hukum atas lahan dan AWN
b. Harga Perolehan lahan dan AWN
c. Rekapan Renovasi dan Pemeliharaan AWN
d. Rekapan pemanfaatan dan penggunaan AWN
e. Rekapan penerimaan dana AWN
f. Rekapan semua Dik-Lat ataupun peningkatan SDM
4. Atas data yang dimiliki oleh DJKN dan data yang diberikan tiap fungsi Negara dan Pemerintah dilakukan perbandingan. Hal ini untuk melihat tingkat pemanfaatan AWN dari sisi biaya.
5. Membuat laporan atas hasil penelitian dokumen yang ada.
Poin 2
Atas data yang telah dibuat, DJKN melakukan :
1. Penilaian terhadap nilai AWN dalam lingkup Tanah dan Bangunan.
2. Penilaian terhadap prospek usaha jika AWN.
3. Melakukan penilaian SDM yang mendapat Dik-Lat di AWN dan yang Dik-Lat diluar AWN agar mengetahui perbandingan tingkat penggunaan atas biaya yang dikeluarkan oleh Negara telah maksimal digunakan untuk tiap fungsi Negara dan Pemerintah.
Poin 3
Agar lebih mudah melakukan pengawasan atas AWN maka pada masa mendatang tidak ada lagi AWN atas nama tiap fungsi Negara dan Pemerintah. Dalam hal ini, AWN hanya dinyatakan dalam beberapa alternatif penamaan seperti :
1. Untuk Lembaga, Badan dan sebagainya disebut sebagai Wisma Negara 1 s.d n
2. Untuk Kementerian disebut sebagai Wisma Pemerintah 1 s.d n
3. Untuk Pemerintah Daerah disebut sebagai Wisma Daerah 1 s.d n
4. Untuk BUMN/D disebut dengan Wisma Perseroan 10/20 s.d n
Dan dalam lingkup klasifikasi, DJKN juga memberikan pertimbangan atas AWN dengan kondisi :
1. Dimasukkan dalam usaha BLU
2. Disewakan
3. Dimanfaatkan sebagai perkantoran oleh instansi yang membutuhkan.
Poin 4
Setelah dilakukan persiapan yang matang, maka AWN akan diserahkan pada BLU yang dibentuk oleh pemerintah. Hal ini agar pengeluaran dan pendapatan yang dikeluarkan dari APBN dapat terukut secara lebih akurat.
Keuntungan dari adanya penyatuan AWN tersebut adalah :
1. Masyarakat dapat mengukur dengan lebih akurat atas pengeluaran dan pemasukan Negara dari PNBP. Sehingga tercipta transparansi dan akuntabilitas dan pengelolaan aset Negara.
2. Pengelolaan AWN secara profesional dengan dibentuknya BLU akan memperingan beban pengeluaran Negara dan juga meningkatkan kinerja dari AWN.
3. Memperbanyak lapangan kerja dengan mengurangi faktor-faktor KKN dalam pengelolaan AWN karena seluruh pendapatan AWN lebih terukur.
4. Semakin terbukanya hubungan lintas sektoral baik dari sisi pimpinan maupun staf yang diharapkan terciptanya hubungan pribadi yang semakin baik dan terbukanya informasi dari masing-masing fungsi agar meningkatkan kinerja dan persaingan secara positif.
Metodologi Penelitian
Untuk penelitian ilmiah mengenai AWN dapat dilakukan oleh Direktorat Penilaian Kekayaan Negara untuk melakukan perhitungan sesuai dengan disiplin ilmu yang diterapkan dalam menghitung AWN.
Perhitungan yang penting terhadap AWN adalah :
1. Perhitungan terhadap kondisi lahan, tanah dan bangunan sesuai disiplin ilmu penilaian untuk mengetahui secara pasti nilai AWN yang dimiliki Negara.
Hal ini juga berguna dalam mengukur aset milik Negara secara lebih memadai.
2. Atas AWN tersebut dilakukan juga penelitian ilmiah mengenai Penilaian Usaha atas AWN.
Hal ini penting dalam menghitung kemungkinan Negara mendapatkan penerimaan dari aset Negara yang selam ini dianggap sebagai faktor pembiyaan.
Dengan menghitung prospek AWN, pangsa pasar, trend ekonomi dan bagaimana AWN dalam dijadikan sebagai jaminan atas surat-surat berharga yang dikeluarkan pemerintah dalam mendorong pertingkatan ekonomi.
Penutup
Tujuan akhir dari pengelolaan AWN dan perencanaan pengeluaran dan penerimaan Negara pada pokoknya adalah efektivitas dan efisiensi APBN, optimalisasi dari anggaran serta korelasi penerimaan Negara yang tersedia dengan terlaksanannya asas-asas dalam pengelolaan AWN. Sebelum ada aturan yang jelas, pengelolaan AWN dan Keuangan Negara adalah dua hal yang berbeda, tanpa memiliki hubungan sedikitpun. Masing-masing berjalan sendiri tanpa ada sebuah aspek legal yang menjembataninya.
Seiring dengan dengan perubahan/reformasi di bidang keuangan, kedua hal yang terpisah tersebut mendapat tempat dalam sebuah kerangka regulasi yang saling mendukung. Dengan demikian pengelolaan AWN menjadi salah satu bagian integral dari sebuah proses peningkatan Keuangan Negara. Menjadi dalah satu bagian karena masih banyak bagian lain dari pengelolaan Aset Milik Negara yang belum bersentuhan dengan Keuangan Negara. Sebuah pencapaian aspek legalitas yang baik guna merealisasikan best practice dalam asset management.
Ketika sudah pada tahap saling berkaitan, diharapkan tercapai sebuah efisiensi, efekfivitas, transparansi, akuntabilitas dan optimalisasi dalam pengelolaan AWN dalam kaitannya dengan perencanaan Keuangan Negara yang dibuat.
Akhir kata, hubungan baik antara pengelolaan AWN dan Keuangan Negar sudah dimulai dalam sebuah kerangka aspek legalitas yaitu berdirinya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Semoga hubugnan ini menghasilkan sebuah penciptaan asas funsional, asas kepastian hukum, asas transparansi, asas efisiensi, asas akuntabilias dan asas kepastian nilai Kekayaan Negara.
gtp 16 jan 07
A. Dasar Hukum
UUD 1945 Pasal 23
UUD 1945 Pasal 33
UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D
B. Tugas Pokok Dan Fungsi Kementerian Keuangan
”perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan di bidang Kekayaan Negara".
Berkedudukan sbg PENGELOLA BARANG MILIK NEGARA (implikasi UU No. 17/2003, UU No. 1/2004 dan peraturan pelaksanaannya terkait : dokumen kepemilikan, penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penilaian, dan pengamanan).
Perlunya penanganan secara lebih intens dan komperehensif mengenai kekayaan Negara.
C. MAKSUD:
Reorientasi Fungsi: Menangani secara khusus mengenai fungsi-fungsi terkait di bidang Kekayaan Negara dalam satu wadah, yaitu DJKN dalam rangka pelaksanaan fungsi fiskal pemerintah.
Revitalisasi Fungsi: penanganan kekayaan Negara dalam rangka mewujudkan optimalisasi penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan, peningkatan efektivitas dan profesionalisme pengelolaan, serta akurasi nilai kekayaan Negara.
D. TUJUAN:
Fokus pada penanganan Barang Milik Negara yang terdiri dari Pemerintah Pusat/Daerah dan BUMN/D
Efektif dalam pengelolaan dan/atau penanganan beban kerja;
Efisien dalam Keuangan Negara;
Optimal dalam menggunakan sumber daya (resourcess)
Tercapainya tujuan yang diharapkan sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E. Ruang Lingkup
Tanah dan Bangunan yang termasuk dalam Barang Milik Negara dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan.
a. Barang Milik Negara : Tanah dan Bangunan milik Kementerian, Badan, Lembaga, Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah.
b. Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Tanah dan Bangunan milik BUMN/D
Ruang lingkup Tanah dan Bangunan adalah Wisma, Mess, Penginapan, Apartemen dan Perumahan Milik Negara yang terdiri dari Pemerintah Pusat/Daerah serta BUMN/D
Kerangka Pemikiran
A. Gambaran Umum
Salah satu konsep yang menarik dalam Pengelolaan Kekayaan Negara adalah tentang kondisi pengelolaan kekayaan Negara yang diinginkan. Pengelolaan kekayaan Negara perlu dilakukan secara proporsional dengan memberikan perhatian yang seimbang kepada faktor ekonomi, faktor sosial dan faktor ekologi. Tanpa dapat dihindari bahwa ketiga dimensi tersebut bersifat mutual exclusive.
Dengan latar belakang tersebut dan dengan berasumsi bahwa lahan sebagaimana ruang lingkup dalam bab I tersebut diatas, maka lahan dapat dimanfaatkan dengan lebih mengakomodasi ketiga dimensi disebut di atas, tulisan ini bertujuan untuk mempresentasikan kerangka konseptual guna memahami pemanfaatan lahan yang dalam tulisan ini disebut pemanfaatan lahan multifungsional.
Pada saat ini, dapat dilihat banyaknya aset wisma, mess, penginapan, apartemen dan perumahan milik Negara (AWN/Aset Wisma Negara) yang secara tidak langsung hanya digunakan oleh instansi tertentu untuk tujuan tertentu misalnya pendidikan dan latihan, tempat tinggal dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, tidak diketahui data yang dapat mendukung akan pemanfaatan secara maksimal atas AWN secara multifungsional.
Dengan tulisan ini diharapkan dapat membangkitkan diskusi atas pemikiran baru dan menjadi tantangan guna mencari pola pemanfaatan AWN yang lebih sensitif terhadap pluralitas masyarakat. Tak pelak lagi, DJKN yang dapat dikatakan setiap hari menangani masalah peruntukan lahan khususnya AWN-- berpotensi menjadi salah satu lembaga yang dapat membantu merealisasikan hal itu.
B. Gambaran Khusus
Pemanfaatan AWN secara langsung memiliki korelasi terhadap tugas, pokok dan fungsi Kementerian Keuangan RI yang dalam pelaksaan sangat berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baik dari sisi Pembiayaan dan Penerimaan Negara.
Secara sekilas, dapat dipastikan bahwa anggaran setiap fungsi Negara dan Pemerintah yang memakai APBN dalam pemanfaatan lahan untuk AWN akan sangat kecil jika dibandingkan dengan anggaran tiap-tiap fungsi Negara dan Pemerintah. Dengan mencoba mengupas lebih dalam penggunaan APBN maka kita dapat mencoba menghitung APBN yang dikeluarkan pemerintah dalam aspek sebagai berikut :
1. Skema Alur Pemanfaatan AWN
Dari skema 1. Alur Pemanfaatan Lahan Milik Negara dapat digambarkan secara sederhana bagaimana korelasi AWN mempengaruhi pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah.
Secara sederhana perhitungan biaya yang dikeluarkan setiap fungi Negara dan Pemerintah dipengaruhi oleh 6 (enam) faktor tersebut :
1. Biaya Pembelian Lahan
Tiap fungsi Negara dan Pemerintah meminta anggaran untuk pembelian lahan dengan tujuan memiliki lahan yang dapat digunakan secara ekslusif bagi kepentingan masing-masing.
2. Biaya Pembangunan
Setelah dilakukan pembelian lahan, maka fungsi terkait akan kembali meminta anggaran untuk pembangunan diatas lahan tersebut.
3. Biaya Renovasi
Kemudian secara berkala, maka akan ada biaya yang diambil dari APBN untuk melakukan renovasi terhadap AWN tersebut.
4. Biaya Pemeliharaan
Dapat dipastikan bahwa setiap tahun akan selalu ada anggaran Negara yang akan digunakan untuk pemeliharaan AWN tersebut.
5. Biaya Pendidikan dan Latihan
Sangat menarik memasukkan biaya pendidikan dan latihan pada biaya AWN. Hal didasarkan pada tujuan utama pembangunan AWN pada umumnya untuk tujuan pendidikan dan latihan.
Jadi sangat relevan jika memasukkan biaya pendidikan dan latihan dalam biaya bangunan milik Negara dengan terlebih dahulu melakukan perhitungan korelasi antara jumlah DikLat yang dilakukan oleh fungsi terkait dengan volumen penggunaan AWN.
6. Biaya lain-lain
Biaya lain-lain adalah biaya yang harus dikeluarkan pemerintah tersebut diatas dimana pemerintah tidak mendapat keuntungan atas biaya yang telah dikeluarkan.
Secara jamak diketahui, bahwa AWN dipakai oleh pihak Non-Pemerintah dengan melakukan pembayaran yang secara sederhana, pendapatan tersebut tidak masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Secara kasat mata, dapat diprediksi bahwa pengeluaran Negara yang diakibatkan oleh AWN mempunyai nilai yang sangat signifikan jika semua biaya dari tiap fungsi Negara dan Pemerintah disatukan dalam klasifikasi mata anggaran yang sama. Sedangkan di sisi pendapatan Negara, AWN sama sekali tidak diharapkan. Hal ini disebabkan adanya pemikiran bahwa AWN tidak berfungsi memberikan pemasukan kepada Kas Negara.
Pemikiran lainnya adalah biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk AWN tersebut dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat maka terjadi multiply economic effect yang lebih baik bagi perekonomian.
Sebagai contoh adalah disekitar Kompleks Departemen Keuangan RI Lapangan Banteng dan Wahidin banyaknya penginapan ataupun mess TNI dengan kondisi yang sangat kontras. Ada yang kurang layak untuk digunakan dan ada yang dalam kondisi sangat baik. Yang menjadi perhatian utama adalah tingkat pemanfaatan atas AWN tersebut dibandingkan dengan biaya dari APBN yang dikeluarkan untuk AWN tersebut.
Jika AWN tersebut dapat disatukan maka, ada kemungkinan Negara dapat melakukan sesuatu yang dapat memaksimalkan nilai dari AWN tersebut seperti sewa guna, sewa pinjam, ataupun lainnya yang mengedepankan multifungsional atas AWN sebagai bagian dari pendapatan Negara dan pelayanan pada masyarakat.
Contoh lain adalah Flat di Kompleks Lembaga Adiminstrasi Negara Pejompongan Jakarta. Dengan adanya flat yang baru, maka flat yang lama sudah tidak digunakan lagi. Sedangkan biaya-biaya atas flat lama masih diambil dari APBN. Flat tersebut disewakan secara terselubung dengan pemasukan kepada para petugas keamanan.
Paradigma Baru
A. Kerangka Umum
Saat ini belum terwujud adanya sistem Pengelolaan Kekayaan Negara yang komprehensif, terutama yang menyangkut inventarisasi Kekayaan Negara dari seluruh sektor. Kelemahan dalam inventarisasi Kekayaan Negara menyebabkan pemerintah tidak memiliki data Kekayaan Negara secara menyeluruh yang memadai. Selain itu Neraca Kekayaan Negara yang menggambarkan keadaan Kekayaan Negara sebenarnya belum dapat diwujudkan. Oleh karena itu akuntabilitas pengelolaan Kekayaan Negara masih sangat karena pelaporan nilai kekayaan negara sebagai hasil dari proses inventarisasi belum dilaksanakan dengan baik. Hal ini menyebabkan best practise dalam bidang pengelolaan Kekayaan Negara belum dapat terwujud dalam rangka pengamanan Kekayaan Negara.
Pengelolaan Kekayaan Negara selama ini cenderung belum proposional. Suatu Pengelolaan Kekayaan Negara yang proposional dalam rangka mewujudkan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat memerlukan keserasian antara tiga faktor, yaitu: (i) faktor ekonomi, (ii) faktor sosial, (iii) faktor ekologi.
Pengelolaan Kekayaan Negara saat ini masih lebih mengedepankan faktor ekonomi dari sisi pembiayaan dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi semata-mata dan kurang terarah pada faktor sosial dan faktor ekologi. Ditambah dengan banyaknya anggaran yang terbuang sia-sia dan pertumbuhan ekonomi tersebut belum dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan dalam pengelolaan Kekayaan Negara ini menyebabkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sulit untuk diwujudkan.
Pembagian kewenangan yang tidak selalu jelas dalam pengelolaan Kekayaan Negara menimbulkan potensi konflik, baik antar sektor maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta BUMN/D. Hal ini disebabkan karena banyaknya peraturan perundang-undangan sektoral yang terkait dengan pengelolaan kekayaan negara yang belum didukung dengan koordinasi yang mantap, harmonisasi pengelolaan Kekayaan Negara, petunjuk yang jelas, dan pengawasan yang tegas
Kekayaan Negara meliputi dua cakupan, yaitu: domein publik dan domein privat. Kekayaan negara dalam arti domein privat yang merupakan ruang lingkup tulisan ini merupakan kekayaan yang dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kekayaan negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari pasal 23 UUD 1945 dan juga digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Aset Management
Konteks universal memberikan pengertian pengelolaan aset sebagai:
A resouces owned of controlled by an entriprises as a result of past event and from which some future economic benefit(s) can be expected to flow to enterprise. Ownership of an asset itself is an intangible. However, the asset owned may be tanggible or intangible (international valuation standar 2003)
Sumber daya yang dimiliki dan dikelola oleh sebuah perusahaan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Sumber daya itu sendiri bisa berwujud tangible maupun intangible. Dalam konteks ini maka fungsi perusahaan diartikan menjadi fungsi negara.
Pemahaman manajemen aset lebih jelasnya sebagai berikut “ optimizing the utilization of asset in terms of service benefit and financial return” . Dengan demikian ada tiga perngertian yng harus dilakukan yaitu:
- meminimalkan biaya operasional
- memaksimalkan ketersediaan aset
- memaksimalkan kegunaan aset.
Untuk mencapai pengelolaan aset yang demikan diperlukan data yang akurat mengenai aset itu sendiri dan adanya usaha pengelolaan dan pengawasan atas penambahan, pergeseran, perubahan dan pengurangan atas multifungsional AWN yang terjadi.
Dengan demikan tujuan daripada pengelolaan aset itu sendiri adalah :
1. Menyediakan layanan yang dibutuhkan yaitu terfokus pada hasil dan tepat dalam penggunaan dan perawatan aset
2. Optimalisasi potensi layanan yang dihasilkan aset. Hal ini berupa pengembangan manajemen atas aset yang ada, fleksibilitas aset dan penggunaan skala ekonomis.
3. Maksimalisasi nilai aset dimana nilai dan manfaat aset harus dijaga serta pemilihan partnership yang sesuai.
4. Kontribusi pada penerimaan negara.
5. Pemenuhan responsibiltas dan akuntabilitas. Hal ini dapat terwujud karena ada kejelasan atas kepemilikan dan kontrol atas aset serta ada laporan pertanggungjwaban.
B. Kerangka Khusus
Dalam kerangka umum, mencoba memberikan paradigma baru tentang pemanfaatan atas AWN sebagai berikut :
2. Skema Alur Pemanfaatan AWN
Dalam skema 2, pemikiran sederhana adalah :
1. DJKN melakukan Inventarisasi Data atas lahan milik Negara yang mempunyai fungsi terkait dengan AWN dan jika memungkinkan dengan menghitung lahan kosong yang tidak digunakan oleh Negara.
2. Melakukan penelitian akan efisiensi dan efektivitas atas penggunan AWN secara multifungsional.
3. Melakukan klasifikasi ulang atas semua lahan milik negara sehingga tidak ada lagi AWN. Dalam hal ini semua AWN dikuasakan kepada DJKN dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) sebagai pengelola.
4. Membentuk BLU dalam mengelola AWN sehingga Negara dan Pemerintah dapat mengkontrol pemanfaatan atas AWN.
Dengan adanya skema seperti diatas, diharapkan DJKN dapat meningkatkan pemanfaatan Barang Milik Negara dengan multifungsional yang maksimal.
Pendalaman Skema 2
Poin 1
DJKN melakukan hal teknis sebagai berikut :
1. Inventrisasi data AWN tiap fungsi Negara dan Pemerintah.
2. Meminta data terbaru (Update Data) dari fungsi terkait.
3. Data-data dari fungsi terkait dilampirkan pula dengan :
a. Status Hukum atas lahan dan AWN
b. Harga Perolehan lahan dan AWN
c. Rekapan Renovasi dan Pemeliharaan AWN
d. Rekapan pemanfaatan dan penggunaan AWN
e. Rekapan penerimaan dana AWN
f. Rekapan semua Dik-Lat ataupun peningkatan SDM
4. Atas data yang dimiliki oleh DJKN dan data yang diberikan tiap fungsi Negara dan Pemerintah dilakukan perbandingan. Hal ini untuk melihat tingkat pemanfaatan AWN dari sisi biaya.
5. Membuat laporan atas hasil penelitian dokumen yang ada.
Poin 2
Atas data yang telah dibuat, DJKN melakukan :
1. Penilaian terhadap nilai AWN dalam lingkup Tanah dan Bangunan.
2. Penilaian terhadap prospek usaha jika AWN.
3. Melakukan penilaian SDM yang mendapat Dik-Lat di AWN dan yang Dik-Lat diluar AWN agar mengetahui perbandingan tingkat penggunaan atas biaya yang dikeluarkan oleh Negara telah maksimal digunakan untuk tiap fungsi Negara dan Pemerintah.
Poin 3
Agar lebih mudah melakukan pengawasan atas AWN maka pada masa mendatang tidak ada lagi AWN atas nama tiap fungsi Negara dan Pemerintah. Dalam hal ini, AWN hanya dinyatakan dalam beberapa alternatif penamaan seperti :
1. Untuk Lembaga, Badan dan sebagainya disebut sebagai Wisma Negara 1 s.d n
2. Untuk Kementerian disebut sebagai Wisma Pemerintah 1 s.d n
3. Untuk Pemerintah Daerah disebut sebagai Wisma Daerah 1 s.d n
4. Untuk BUMN/D disebut dengan Wisma Perseroan 10/20 s.d n
Dan dalam lingkup klasifikasi, DJKN juga memberikan pertimbangan atas AWN dengan kondisi :
1. Dimasukkan dalam usaha BLU
2. Disewakan
3. Dimanfaatkan sebagai perkantoran oleh instansi yang membutuhkan.
Poin 4
Setelah dilakukan persiapan yang matang, maka AWN akan diserahkan pada BLU yang dibentuk oleh pemerintah. Hal ini agar pengeluaran dan pendapatan yang dikeluarkan dari APBN dapat terukut secara lebih akurat.
Keuntungan dari adanya penyatuan AWN tersebut adalah :
1. Masyarakat dapat mengukur dengan lebih akurat atas pengeluaran dan pemasukan Negara dari PNBP. Sehingga tercipta transparansi dan akuntabilitas dan pengelolaan aset Negara.
2. Pengelolaan AWN secara profesional dengan dibentuknya BLU akan memperingan beban pengeluaran Negara dan juga meningkatkan kinerja dari AWN.
3. Memperbanyak lapangan kerja dengan mengurangi faktor-faktor KKN dalam pengelolaan AWN karena seluruh pendapatan AWN lebih terukur.
4. Semakin terbukanya hubungan lintas sektoral baik dari sisi pimpinan maupun staf yang diharapkan terciptanya hubungan pribadi yang semakin baik dan terbukanya informasi dari masing-masing fungsi agar meningkatkan kinerja dan persaingan secara positif.
Metodologi Penelitian
Untuk penelitian ilmiah mengenai AWN dapat dilakukan oleh Direktorat Penilaian Kekayaan Negara untuk melakukan perhitungan sesuai dengan disiplin ilmu yang diterapkan dalam menghitung AWN.
Perhitungan yang penting terhadap AWN adalah :
1. Perhitungan terhadap kondisi lahan, tanah dan bangunan sesuai disiplin ilmu penilaian untuk mengetahui secara pasti nilai AWN yang dimiliki Negara.
Hal ini juga berguna dalam mengukur aset milik Negara secara lebih memadai.
2. Atas AWN tersebut dilakukan juga penelitian ilmiah mengenai Penilaian Usaha atas AWN.
Hal ini penting dalam menghitung kemungkinan Negara mendapatkan penerimaan dari aset Negara yang selam ini dianggap sebagai faktor pembiyaan.
Dengan menghitung prospek AWN, pangsa pasar, trend ekonomi dan bagaimana AWN dalam dijadikan sebagai jaminan atas surat-surat berharga yang dikeluarkan pemerintah dalam mendorong pertingkatan ekonomi.
Penutup
Tujuan akhir dari pengelolaan AWN dan perencanaan pengeluaran dan penerimaan Negara pada pokoknya adalah efektivitas dan efisiensi APBN, optimalisasi dari anggaran serta korelasi penerimaan Negara yang tersedia dengan terlaksanannya asas-asas dalam pengelolaan AWN. Sebelum ada aturan yang jelas, pengelolaan AWN dan Keuangan Negara adalah dua hal yang berbeda, tanpa memiliki hubungan sedikitpun. Masing-masing berjalan sendiri tanpa ada sebuah aspek legal yang menjembataninya.
Seiring dengan dengan perubahan/reformasi di bidang keuangan, kedua hal yang terpisah tersebut mendapat tempat dalam sebuah kerangka regulasi yang saling mendukung. Dengan demikian pengelolaan AWN menjadi salah satu bagian integral dari sebuah proses peningkatan Keuangan Negara. Menjadi dalah satu bagian karena masih banyak bagian lain dari pengelolaan Aset Milik Negara yang belum bersentuhan dengan Keuangan Negara. Sebuah pencapaian aspek legalitas yang baik guna merealisasikan best practice dalam asset management.
Ketika sudah pada tahap saling berkaitan, diharapkan tercapai sebuah efisiensi, efekfivitas, transparansi, akuntabilitas dan optimalisasi dalam pengelolaan AWN dalam kaitannya dengan perencanaan Keuangan Negara yang dibuat.
Akhir kata, hubungan baik antara pengelolaan AWN dan Keuangan Negar sudah dimulai dalam sebuah kerangka aspek legalitas yaitu berdirinya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Semoga hubugnan ini menghasilkan sebuah penciptaan asas funsional, asas kepastian hukum, asas transparansi, asas efisiensi, asas akuntabilias dan asas kepastian nilai Kekayaan Negara.
gtp 16 jan 07
Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan
Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan
(Tanggapan dari sisi Ekonomi)
Karakteristik :
- Usaha Mikro berasal dari Sixth Sense, dimana setiap manusia akan struggle for his/her living cost to catter his/her life.
- Digerakkan oleh Invisible Hand, dimana roda perekonomian digerakkan oleh human will and instinct. Usaha Mikro juga ditujukan bagi kaum marginal dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
- Produk berdasarkan daerah, suku etc. Seperti pembuatan dodol, ukiran etc.
- High Trusted, yang dimaksud adalah adanya tingkat kepercayaan yang tinggi antara sesama pengusaha dan pekerja yang bergerak di sektor mikro yang disebabkan back ground social culture.
- Berada disatu pasar berdasarkan social culture back ground. Seperti pedagang pakaian di kaki lima Tanah Abang yang umumnya berkumpul per suku di Indonesia.
- Paradoks antara high risk business dan guarantee of business. Yang dimaksud adalah disatu sisi penggerak usaha mikro pada umumnya bekerja berdasarkan keyakinan pribadi (sixth sense) bahwa produk yang dihasilkan akan habis diserap pasar tanpa memikirkan perubahan ekonomi yang terjadi. Disisi lain, penggerak usaha mikro hanya mempunyai modal yang kurang mencukupi dalam berusaha.
Kelemahan Usaha Mikro :
- Tidak ada jaminan yang bisa dijadikan agunan karena kaum pengusaha dan pekerja umumnya adalah masyarakat dengan latar pendidikan dan ekonomi yang kurang memadai.
- Umumnya berdasarkan musim (untuk usaha perkebunan, ternak dan perikanan) dan dalam bekerja bergantung pada keadaan dan sugesti yang ada (untuk usaha yang bersifat barang-barang ukiran, kerajinan tangan).
- Tidak ada kepastian mengenai siklus suatu pekerjaan dari awal sampai terjualnya suatu produk jauh lebih besar dari sebuah coorporate.
Kelebihan Usaha Mikro :
- Prosentase profit yang dihasilkan jauh lebih besar dari sebuah coorporate. (hal ini disebabkan pola hidup dan mind set dari kaum pekerja di sektor usaha mikro cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup).
- High Level of Honesty, karena umumnya pekerja di usaha mikro digerakkan oleh ikatan persaudaraan maka tingkat kejujuran dan kepercayaan sangat tinggi. Dan pada umumnya transaksi yang terjadi tanpa ada bukti-bukti tertulis yang bisa dijadikan landasan atau dasar bukti secara hukum jika terjadi perselisihan.
- Mempunyai satu orang atau sekelompok pemimpin dalam masyarakat yang dihormati oleh kaumnya dan menjadi motor dalam usaha mikro tersebut.
- Tingkat toleransi yang sangat tinggi terhadap sesama usaha mikro.
Kendala yang timbul antara hubungan Perbankan dan Usaha Mikro antara lain adalah :
Perbankan
1. Memerlukan Agunan / Jaminan
2. Adanya peraturan yang ketat
3. Usaha Mikro kurang menjadi perhatian oleh pihak perbankan.
4. Prosedur yang relatif lama untuk pencairan dana pinjaman.
Usaha Mikro
1. Tidak mempunyai Agunan / Jaminan
2. Kurang mengerti peraturan perbankan
3. Sangat memerlukan pinjaman dari bank karena tingkat demand x supply yang fluktuatif.
4. Tidak terbiasa dengan tindakan prosedural dan memerlukan dana dalam waktu singkat.
Alternatif solusi yang ada dalam mengatasi kendala yang timbul antara perbankan dan usaha mikro adalah :
1.Perbankan mendekatkan kantor cabang pada pasar-pasar usaha mikro. Seperti di Pasar Tanah Abang,Pasar Cipulir,Pasar Kramat Jati dll yang ada di seluruh Indonesia.
Hal ini diperlukan agar perbankan dapat tercipta kepercayaan antara usaha mikro dan perbankan.
2.Perbankan membuat laporan secara mendetail tentang hasil analisa social culture, geografis dan adat istiadat di wilayah dimana cabang perbankan didirikan. Dan juga memberikan laporan analisa barang-barang yang diproduk, siklus produksi dan tingkat pemasaran barang-barang yang diproduksi.
3.Perbankan melakukan pengikatan kredit usaha mikro dengan membagi per kelompok dimana orang yang paling dituakan atau penggerak/motor dari usaha mikro dalam kelompok tersebut menjadi penjamin atas pinjaman yang diberikan pada setiap orang yang berada didalam kelompok tersebut.
Dengan hal ini maka perbankan dapat melakukan rekonsiliasi catatan pembukuan dengan hanya wakil dari kelompok tersebut.
4.Perbankan memberikan bunga yang rendah dan dalam jangka waktu singkat menurut hasil analisa terhadap pasar dimana cabang perbankan itu berada.
Hal ini berguna dalam meningkatkan money turn over.
5.Perbankan melakukan penyuluhan dan tukar pendapat dengan usaha mikro dengan analisa yang dimiliki oleh pihak perbankan agar meningkatkan kinerja dan produktivitas perbankan maupun usaha mikro.
C: gtp/lain2
(Tanggapan dari sisi Ekonomi)
Karakteristik :
- Usaha Mikro berasal dari Sixth Sense, dimana setiap manusia akan struggle for his/her living cost to catter his/her life.
- Digerakkan oleh Invisible Hand, dimana roda perekonomian digerakkan oleh human will and instinct. Usaha Mikro juga ditujukan bagi kaum marginal dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
- Produk berdasarkan daerah, suku etc. Seperti pembuatan dodol, ukiran etc.
- High Trusted, yang dimaksud adalah adanya tingkat kepercayaan yang tinggi antara sesama pengusaha dan pekerja yang bergerak di sektor mikro yang disebabkan back ground social culture.
- Berada disatu pasar berdasarkan social culture back ground. Seperti pedagang pakaian di kaki lima Tanah Abang yang umumnya berkumpul per suku di Indonesia.
- Paradoks antara high risk business dan guarantee of business. Yang dimaksud adalah disatu sisi penggerak usaha mikro pada umumnya bekerja berdasarkan keyakinan pribadi (sixth sense) bahwa produk yang dihasilkan akan habis diserap pasar tanpa memikirkan perubahan ekonomi yang terjadi. Disisi lain, penggerak usaha mikro hanya mempunyai modal yang kurang mencukupi dalam berusaha.
Kelemahan Usaha Mikro :
- Tidak ada jaminan yang bisa dijadikan agunan karena kaum pengusaha dan pekerja umumnya adalah masyarakat dengan latar pendidikan dan ekonomi yang kurang memadai.
- Umumnya berdasarkan musim (untuk usaha perkebunan, ternak dan perikanan) dan dalam bekerja bergantung pada keadaan dan sugesti yang ada (untuk usaha yang bersifat barang-barang ukiran, kerajinan tangan).
- Tidak ada kepastian mengenai siklus suatu pekerjaan dari awal sampai terjualnya suatu produk jauh lebih besar dari sebuah coorporate.
Kelebihan Usaha Mikro :
- Prosentase profit yang dihasilkan jauh lebih besar dari sebuah coorporate. (hal ini disebabkan pola hidup dan mind set dari kaum pekerja di sektor usaha mikro cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup).
- High Level of Honesty, karena umumnya pekerja di usaha mikro digerakkan oleh ikatan persaudaraan maka tingkat kejujuran dan kepercayaan sangat tinggi. Dan pada umumnya transaksi yang terjadi tanpa ada bukti-bukti tertulis yang bisa dijadikan landasan atau dasar bukti secara hukum jika terjadi perselisihan.
- Mempunyai satu orang atau sekelompok pemimpin dalam masyarakat yang dihormati oleh kaumnya dan menjadi motor dalam usaha mikro tersebut.
- Tingkat toleransi yang sangat tinggi terhadap sesama usaha mikro.
Kendala yang timbul antara hubungan Perbankan dan Usaha Mikro antara lain adalah :
Perbankan
1. Memerlukan Agunan / Jaminan
2. Adanya peraturan yang ketat
3. Usaha Mikro kurang menjadi perhatian oleh pihak perbankan.
4. Prosedur yang relatif lama untuk pencairan dana pinjaman.
Usaha Mikro
1. Tidak mempunyai Agunan / Jaminan
2. Kurang mengerti peraturan perbankan
3. Sangat memerlukan pinjaman dari bank karena tingkat demand x supply yang fluktuatif.
4. Tidak terbiasa dengan tindakan prosedural dan memerlukan dana dalam waktu singkat.
Alternatif solusi yang ada dalam mengatasi kendala yang timbul antara perbankan dan usaha mikro adalah :
1.Perbankan mendekatkan kantor cabang pada pasar-pasar usaha mikro. Seperti di Pasar Tanah Abang,Pasar Cipulir,Pasar Kramat Jati dll yang ada di seluruh Indonesia.
Hal ini diperlukan agar perbankan dapat tercipta kepercayaan antara usaha mikro dan perbankan.
2.Perbankan membuat laporan secara mendetail tentang hasil analisa social culture, geografis dan adat istiadat di wilayah dimana cabang perbankan didirikan. Dan juga memberikan laporan analisa barang-barang yang diproduk, siklus produksi dan tingkat pemasaran barang-barang yang diproduksi.
3.Perbankan melakukan pengikatan kredit usaha mikro dengan membagi per kelompok dimana orang yang paling dituakan atau penggerak/motor dari usaha mikro dalam kelompok tersebut menjadi penjamin atas pinjaman yang diberikan pada setiap orang yang berada didalam kelompok tersebut.
Dengan hal ini maka perbankan dapat melakukan rekonsiliasi catatan pembukuan dengan hanya wakil dari kelompok tersebut.
4.Perbankan memberikan bunga yang rendah dan dalam jangka waktu singkat menurut hasil analisa terhadap pasar dimana cabang perbankan itu berada.
Hal ini berguna dalam meningkatkan money turn over.
5.Perbankan melakukan penyuluhan dan tukar pendapat dengan usaha mikro dengan analisa yang dimiliki oleh pihak perbankan agar meningkatkan kinerja dan produktivitas perbankan maupun usaha mikro.
C: gtp/lain2
SPV
Special Purpose Vehicle (SPV)
Pengantar
Akhir-akhir ini banyak kritikan terhadap kinerja perbankan nasional khususnya terhadap bank-bank BUMN yang dilakukan oleh praktisi keuangan ataupun lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini sehubungan dengan adanya kredit macet yang biasa disebut Non Performance Loan (NPL) dengan jumlah yang cukup signifikan di bank-bank BUMN. Dan NPL ini bertambah banyak akibat dampak adanya perubahan terhadap peraturan Bank Indonesia nomor PBI No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 January 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva. PBI yang baru tersebut mengatur dengan sangat rinci bentuk-bentuk asset dan juga lembaga-lembaga independen yang terlibat dalam pengukuran kualitas aktiva. Serta mengatur pula kategori pinjaman dengan lebih terperinci, sehingga penggolongan kredit pun menjadi lebih jelas, karena bukan hanya dilihat dari termin pembayaran, tetapi juga melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepastian terhadap pinjaman yang dilakukan oleh debitur. Dengan adanya perubahan peraturan terhadap kualitas aktiva, maka jumlah NPL pun meningkat dengan tajam.
Atas banyaknya kritikan yang diterima oleh bank-bank BUMN terhadap tingginya NPL yang ada di bank, maka pihak bank-bank BUMN pun memberi tanggapan dengan cara beragam sebagai alternatif penyelesaian terhadap NPL yang ada. Salah satu alternatif yang memberikan keseragaman adalah adanya permintaan agar dibentuk Special Purpose Vehicle untuk mengatasi banyaknya NPL. Seakan-akan terbentuk opini di pihak bank-bank bumn bahwa dengan adanya SPV maka persoalan NPL yang dihadapinya dapat diatasi dengan lebih mudah.
SPV sendiri merupakan wacana baru dalam perbankan Indonesia, dimana selama ini pihak-pihak yang menyoroti bank-bank BUMN tidak memberikan alternatif melalui model SPV. Saat ini dengan bergulirnya ide tentang berdirinya SPV yang dilakukan oleh bank-bank BUMN, banyak pihak menunggu perubahan apa yang akan terjadi dalam perbankan nasional dan apa dampaknya terhadap peningkatan kinerja bank-bank BUMN tersebut. Walapun sampai saat ini baik Departemen Keuangan sebagai pemegang saham dan juga BI sebagai regulator moneter belum menunjukkan tanggapan secara serius terhadap ide yang dilontarkan mengenai SPV.
Dalam perbankan internasional, SPV sudah cukup dikenal secara luas sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian masalah NPL. Hal ini dapat dilihat dengan adanya SPV di berbagai negara seperti Germany, Swiss, Philipina, Singapore, Pakistan dll. Sehingga pengertian mengenai SPV perlu dipublikasikan secara luas untuk memperluas pengetahuan mengenai perbankan.
Definisi
Special Purpose Vehicle (SPV), jika dilihat dari namanya adalah seperti kendaraan khusus yang digunakan untuk tujuan tertentu. Dalam dunia perbankan, SPV adalah suatu alternatif yang digunakan oleh pihak perbankan dalam menyelesaikan permasalahan NPL yang cukup signifikan dan mempengaruhi keuangan suatu negara. Salah satu contoh adalah di Swiss, dimana perbedaan konsep loan dalam perbankan swiss turut mengalami masalah yaitu adanya penurunan likuiditas yang mempengaruhi perputaran keuangan negara. (Lampiran IV)
SPV adalah suatu bentuk yang bisa dijadikan suatu badan dalam bentuk corporation,trust,partnership atau limited liability company (Lampiran I). Maksud dari hal tersebut adalah sebuah SPV tidak akan dibatasi oleh bentuk atau kemasan yang menaungi maksud dan tujuan dari makna kata SPV di dunia perbankan. Bahkan sebenarnya SPV pun dapat terbentuk tanpa adanya badan hukum yang memayunginya. Yang terpenting dalam adalah adanya peraturan dan ketentuan yang mengikat semua pihak yang terkait untuk menjaga independensi SPV dalam melaksanakan tugas yang diberikan dan kesamaan paham dari pihak-pihak yang terkait. Di beberapa Negara, seperti Filipina, dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan SPV diatur oleh kongres sehingga SPV bertanggung jawab penuh kepada parliament negara Filipina. Sedangkan di Pakistan, Singapore, SPV langsung dibawah regulator moneter. Dan di Swiss SPV berada dibawah pengawasan regulator fiskal yang dijalan oleh praktisi-praktisi bisnis dinegara tersebut. (Lampiran III)
Dan secara badan hukum yang berdiri independen, SPV tidak akan pernah dan tidak boleh mengalami kerugian dalam menjalankan kegiatannya. Mengapa ? Karena semua biaya yang dikeluarkan oleh SPV akan ditanggung oleh pihak-pihak yang terkait didalamnya seperti bank, lembaga keuangan (LK), investor dll. Dan atas semua kegiatan yang dilakukan SPV secara keuangan dan perdagangan mendapat garansi dari lembaga-lembaga keuangan independen yang terlibat seperti Finance Consultant, Appraisal, Tax Consultant dll.
Tujuan dari didirikan SPV adalah untuk dapat meningkatkan likuiditas dari bank-bank yang memiliki NPL. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan penjualan surat-surat berharga dengan jaminan asset-asset yang termasuk dalam kategori NPL bank tersebut.
Pihak-Pihak Terkait
Secara umum, pihak-pihak yang terkait dengan SPV adalah :
1. Bank
Pihak bank yang memiliki NPL akan melakukan verifikasi atas kategory NPL yang dapat diserahkan ke SPV agar dilakukan penjualan surat-surat berharga dengan jaminan asset-asset dari debitur NPL.
Atas surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh SPV maka pihak bank berkewajiban untuk membayar segala kewajiban kepada SPV maupun investor.
Atas penilaian terhadap usaha debitur yang NPL, pihak bank berkewajiban menggunakan LK untuk melakukan penilaian dan memberikan proposal penawaran terhadap aset yang dijadikan jaminan kepada SPV agar dapat dijual dalam bentuk surat berharga.
Dan untuk melakukan penjualan surat berharga atas aset debitur, maka pihak bank harus mempunyai jaminan bahwa atas usaha yang dimiliki oleh debitur, pihak bank dapat mengatur dan mempunyai otoritas penuh terhadap usaha yang dimiliki oleh debitur yang akan dilakukan oleh LK.
2. Financial Institution (Lembaga Keuangan)
Lembaga Keuangan (LK) mempunyai tugas memberikan jaminan kepada pihak bank terhadap kinerja debitur NPL, bahwa usaha yang sedang dijalankan oleh debitur dapat memberikan hasil yang maksimal dan dengan dilakukan penjualan surat-surat berharga atas jaminan asset yang dimiliki debitur NPL, maka pihak bank dapat memperoleh keuntungan dan akan sanggup membayar kewajiban-kewajibannya kepada investor.
Tugas dari LK sangat berat. Hal ini karena LK harus mampu menghitung dengan cermat nilai dari asset yang bukan hanya dihitung dari harga asset tersebut dipasaran (market price) dan juga harga pembelian (historical cost) tetapi juga harus mampu menilai asset tersebut dengan nilai yang akan mungkin dicapai atas pemanfaatan asset tersebut. Selain hal tersebut LK juga harus mampu melakukan managemen usaha secara kontinyu untuk menjamin bahwa usaha debitur akan mengalami perubahan yaitu peningkatan performance usaha debitur baik tingkat produksi dan keuntungan.
Atas asset yang dimiliki debitur NPL, maka LK harus mampu melakukan split dan swap agar dapat menentukan dengan pasti komposisi jenis surat berharga yang akan memberikan keuntungan yang maksimal kepada investor dan juga bank. Maka dalam hal ini, pengalaman LK dalam melakukan managemen keuangan dan juga finance engineering sangat dibutuhkan. (contoh Lampiran V dan VI)
3. Investor
Investor adalah salah satu pihak yang penting dalam kegiatan yang dilakukan oleh SPV. Investor yang akan melakukan penilaian tersendiri atas penawaran yang diajukan oleh SPV dengan jaminan dari pihak LK bahwa pihak LK dapat memberikan keuntungan bagi investor. (Lampiran I Quote ‘strategic adverse selection problem’)
4. Pemerintah (Gov’t)
Gov’t mempunyai peran penting dalam tugas yang dilaksanankan oleh SPV. Gov’t secara tidak langsung akan mendapatkan keuntungan dari berjalannya kegiatan SPV jika dilakukan dengan baik. Keuntungan yang di peroleh Gov’t adalah stimulasi ekonomi baik secara micro and macro, masuknya investasi ataupun cairnya capital yang dimiliki oleh investor, meningkatkan tingkat perputaran uang sehingga gov’t dapat menjaga stabilitas ekonomi dengan mengatur kebijakan moneter dan fiskal lebih baik karena stagnasi akibat rendahnya perekonomian berkurang dengan adanya SPV.
Dalam SPV. Gov’t juga mempunyai kewajiban untuk memayungi SPV dalam bentuk peraturan-peraturan yang mengacu pada Good Coorporate Governance (GCG) dan juga memberi kepastian terhadap investor asing yang akan masuk terhadap kepastian hukum. Gov’t juga memberikan insentif terhadap transaksi yang dilakukan SPV seperti insentif pajak, jangka waktu pembayaran kewajiban, keamanan dll.
Karakteristik SPV
1. Independen
Dalam mekanisme pelaksanaan, SPV harus bersifat independen, tidak boleh ada conflict of interest dari pihak-pihak yang terkait dengan penugasan SPV seperti bank, LK, investor maupun pemerintah. Hal ini untuk menjamin bahwa transaksi atas surat-surat berharga dijual sesuai dengan harga ekuilibrium tanpa terjadi distorsi. Dan semua karyawan yang terlibat dalam program SPV tidak boleh berasal dari pihak bank atau investor.
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup SPV hanya dibatasi pada NPL yang mempunyai jaminan asset di bank. Jadi NPL yang terjadi tanpa adanya jaminan seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) tidak bisa masuk dalam program SPV. Dan jumlah NPL yang dimasukkan dalam program SPV mempunyai batasan maksimal dihitung sesuai perbandingan NPL dan likuiditas yang dimiliki oleh bank dan atau asset-asset bank selain likuiditas.
Hal ini diperlukan jika terdapat kendala yang mengakibatkan NPL yang ikut dalam program SPV mengalami kerugian, sehingga pihak bank dapat membayar kewajibannya sesuai perjanjian kepada investor.
3. Jangka Waktu
Program SPV harus mempunyai jangka waktu pelaksanaan. Hal ini diperlukan karena SPV adalah sebuah program yang bersifat sementara (temporary) sehingga harus ditentukan jangka waktu pelaksanaan dari program SPV. Alasan dari hal tersebut diatas adalah diharapkan dengan adanya SPV maka tingkat analisa dan evaluasi terhadap pemberian kredit oleh bank semakin baik sehingga NPL akan semakin berkurang, demikian juga NPL yang ada dapat dikurangi. Dan SPV juga harus dapat di evaluasi oleh sebuah badan pengawas seperti DPR, Depkeu atau BI. Dengan adanya jangka waktu, dapat pula diketahui kinerja dari program SPV apakah memang bermanfaat bagi perkembangan ekonomi macro.
4. Insentif
Dalam program SPV, pihak-pihak yang terkait mendapat kompensasi timbal balik atas transaksi yang dilakukan. Sebagai contoh yang pertama adalah insentif pajak. Dalam hal terjadinya transaksi, maka pihak penjual dan pembeli mendapat insentif pajak dalam bentuk pengurangan tarif pajak dari tarif pajak yang berlaku normal. Contoh kedua adalah berkurangnya biaya-biaya lainnya yang harus ditanggung oleh investor dan pihak bank dalam bertransaksi seperti pengurangan prosedur dari yang berlaku umum sehingga dapat mengurangi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
5. Kendala
Dalam pelaksanaan program SPV terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh SPV terutama yang berlaku di suatu negara untuk investor. Sebagai contoh :
a. Peraturan dan kebijakan pemerintah
Undang-undang dan peraturan yang berlaku bisa menjadi suatu barrier bagi investor untuk menanam uang dalam program SPV. Misalnya peraturan mengenai Tanah dan Bangunan. Tiap negara mempunyai peraturan yang berbeda mengenai Tanah dan Bangunan, yang menjadi bahan pemikiran investor adalah jangka waktu investasi dan jangka waktu memiliki Tanah dan Bangunan di suatu negara untuk pemanfaatannya. Sebab jika suatu usaha gagal dan terjadi perubahan fungsi usaha diatas Tanah dan Bangunan tersebut akan memakan waktu berapa lama dalam pengurusannya sampai kembali dapat berusaha secara aktif dan memberi keuntungan bagi investor. Ataupun Undang-undang mengenai perburuhan yang berlaku disuatu negara apakah benar-benar dapat menjamin investasi dapat dibayar tepat pada waktu. Dan juga tentu saja peraturan perpajakan yang pasti sangat diperlukan oleh investor.
b. Social Culture
Social Culture suatu negara sangat mempengaruhi tingkat investasi. Social culture merupakan faktor yang tidak dapat diprediksi secara pasti, tetapi investor tetap menginginkan adanya standar deviasi dari social culture masyarakat dimana usaha tempat investor menanam capital dapat aman dari kendala akibat dari social culture sebuah populasi. Sebagai contoh adalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara terkorup didunia, berarti secara general masyarakat international mengenal masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang suka korup, yang berarti berapapun capital yang di invest, kemungkinan besar ada dana yang diselewengkan. Hal ini menyebabkan investor asing enggan untuk menanam capital di Indonesia.
c. Gov’t Guarantee
Jaminan dari Gov’t dalam bentuk keamanan, hukum dan keuangan. Semua investasi asing disuatu negara tentu saja memerlukan jaminan yang pasti dan berlaku sama bagi semua pihak.
d. International Standards
Bank-bank, Lembaga Keuangan dan Pemerintahan suatu negara harus benar-benar memenuhi standard yang ditetapkan secara international agar investor dapat diyakinkan untuk menanam investasi disuatu negara. Sebagai contoh, badan penilai/appraisal apakah memenuhi standard international dalam melakukan penilaian, apakah bank-bank yang ikut program SPV memenuhi standard international dalam pengelolaan dan mekanisme keuangan dll.
6. Mekanisme SPV
Lampiran I Hal 15 dan 16
Lampiran III Hal 2
gtp 24/11/05
Mane Nobiscum Domine
Pengantar
Akhir-akhir ini banyak kritikan terhadap kinerja perbankan nasional khususnya terhadap bank-bank BUMN yang dilakukan oleh praktisi keuangan ataupun lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini sehubungan dengan adanya kredit macet yang biasa disebut Non Performance Loan (NPL) dengan jumlah yang cukup signifikan di bank-bank BUMN. Dan NPL ini bertambah banyak akibat dampak adanya perubahan terhadap peraturan Bank Indonesia nomor PBI No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 January 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva. PBI yang baru tersebut mengatur dengan sangat rinci bentuk-bentuk asset dan juga lembaga-lembaga independen yang terlibat dalam pengukuran kualitas aktiva. Serta mengatur pula kategori pinjaman dengan lebih terperinci, sehingga penggolongan kredit pun menjadi lebih jelas, karena bukan hanya dilihat dari termin pembayaran, tetapi juga melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepastian terhadap pinjaman yang dilakukan oleh debitur. Dengan adanya perubahan peraturan terhadap kualitas aktiva, maka jumlah NPL pun meningkat dengan tajam.
Atas banyaknya kritikan yang diterima oleh bank-bank BUMN terhadap tingginya NPL yang ada di bank, maka pihak bank-bank BUMN pun memberi tanggapan dengan cara beragam sebagai alternatif penyelesaian terhadap NPL yang ada. Salah satu alternatif yang memberikan keseragaman adalah adanya permintaan agar dibentuk Special Purpose Vehicle untuk mengatasi banyaknya NPL. Seakan-akan terbentuk opini di pihak bank-bank bumn bahwa dengan adanya SPV maka persoalan NPL yang dihadapinya dapat diatasi dengan lebih mudah.
SPV sendiri merupakan wacana baru dalam perbankan Indonesia, dimana selama ini pihak-pihak yang menyoroti bank-bank BUMN tidak memberikan alternatif melalui model SPV. Saat ini dengan bergulirnya ide tentang berdirinya SPV yang dilakukan oleh bank-bank BUMN, banyak pihak menunggu perubahan apa yang akan terjadi dalam perbankan nasional dan apa dampaknya terhadap peningkatan kinerja bank-bank BUMN tersebut. Walapun sampai saat ini baik Departemen Keuangan sebagai pemegang saham dan juga BI sebagai regulator moneter belum menunjukkan tanggapan secara serius terhadap ide yang dilontarkan mengenai SPV.
Dalam perbankan internasional, SPV sudah cukup dikenal secara luas sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian masalah NPL. Hal ini dapat dilihat dengan adanya SPV di berbagai negara seperti Germany, Swiss, Philipina, Singapore, Pakistan dll. Sehingga pengertian mengenai SPV perlu dipublikasikan secara luas untuk memperluas pengetahuan mengenai perbankan.
Definisi
Special Purpose Vehicle (SPV), jika dilihat dari namanya adalah seperti kendaraan khusus yang digunakan untuk tujuan tertentu. Dalam dunia perbankan, SPV adalah suatu alternatif yang digunakan oleh pihak perbankan dalam menyelesaikan permasalahan NPL yang cukup signifikan dan mempengaruhi keuangan suatu negara. Salah satu contoh adalah di Swiss, dimana perbedaan konsep loan dalam perbankan swiss turut mengalami masalah yaitu adanya penurunan likuiditas yang mempengaruhi perputaran keuangan negara. (Lampiran IV)
SPV adalah suatu bentuk yang bisa dijadikan suatu badan dalam bentuk corporation,trust,partnership atau limited liability company (Lampiran I). Maksud dari hal tersebut adalah sebuah SPV tidak akan dibatasi oleh bentuk atau kemasan yang menaungi maksud dan tujuan dari makna kata SPV di dunia perbankan. Bahkan sebenarnya SPV pun dapat terbentuk tanpa adanya badan hukum yang memayunginya. Yang terpenting dalam adalah adanya peraturan dan ketentuan yang mengikat semua pihak yang terkait untuk menjaga independensi SPV dalam melaksanakan tugas yang diberikan dan kesamaan paham dari pihak-pihak yang terkait. Di beberapa Negara, seperti Filipina, dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan SPV diatur oleh kongres sehingga SPV bertanggung jawab penuh kepada parliament negara Filipina. Sedangkan di Pakistan, Singapore, SPV langsung dibawah regulator moneter. Dan di Swiss SPV berada dibawah pengawasan regulator fiskal yang dijalan oleh praktisi-praktisi bisnis dinegara tersebut. (Lampiran III)
Dan secara badan hukum yang berdiri independen, SPV tidak akan pernah dan tidak boleh mengalami kerugian dalam menjalankan kegiatannya. Mengapa ? Karena semua biaya yang dikeluarkan oleh SPV akan ditanggung oleh pihak-pihak yang terkait didalamnya seperti bank, lembaga keuangan (LK), investor dll. Dan atas semua kegiatan yang dilakukan SPV secara keuangan dan perdagangan mendapat garansi dari lembaga-lembaga keuangan independen yang terlibat seperti Finance Consultant, Appraisal, Tax Consultant dll.
Tujuan dari didirikan SPV adalah untuk dapat meningkatkan likuiditas dari bank-bank yang memiliki NPL. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan penjualan surat-surat berharga dengan jaminan asset-asset yang termasuk dalam kategori NPL bank tersebut.
Pihak-Pihak Terkait
Secara umum, pihak-pihak yang terkait dengan SPV adalah :
1. Bank
Pihak bank yang memiliki NPL akan melakukan verifikasi atas kategory NPL yang dapat diserahkan ke SPV agar dilakukan penjualan surat-surat berharga dengan jaminan asset-asset dari debitur NPL.
Atas surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh SPV maka pihak bank berkewajiban untuk membayar segala kewajiban kepada SPV maupun investor.
Atas penilaian terhadap usaha debitur yang NPL, pihak bank berkewajiban menggunakan LK untuk melakukan penilaian dan memberikan proposal penawaran terhadap aset yang dijadikan jaminan kepada SPV agar dapat dijual dalam bentuk surat berharga.
Dan untuk melakukan penjualan surat berharga atas aset debitur, maka pihak bank harus mempunyai jaminan bahwa atas usaha yang dimiliki oleh debitur, pihak bank dapat mengatur dan mempunyai otoritas penuh terhadap usaha yang dimiliki oleh debitur yang akan dilakukan oleh LK.
2. Financial Institution (Lembaga Keuangan)
Lembaga Keuangan (LK) mempunyai tugas memberikan jaminan kepada pihak bank terhadap kinerja debitur NPL, bahwa usaha yang sedang dijalankan oleh debitur dapat memberikan hasil yang maksimal dan dengan dilakukan penjualan surat-surat berharga atas jaminan asset yang dimiliki debitur NPL, maka pihak bank dapat memperoleh keuntungan dan akan sanggup membayar kewajiban-kewajibannya kepada investor.
Tugas dari LK sangat berat. Hal ini karena LK harus mampu menghitung dengan cermat nilai dari asset yang bukan hanya dihitung dari harga asset tersebut dipasaran (market price) dan juga harga pembelian (historical cost) tetapi juga harus mampu menilai asset tersebut dengan nilai yang akan mungkin dicapai atas pemanfaatan asset tersebut. Selain hal tersebut LK juga harus mampu melakukan managemen usaha secara kontinyu untuk menjamin bahwa usaha debitur akan mengalami perubahan yaitu peningkatan performance usaha debitur baik tingkat produksi dan keuntungan.
Atas asset yang dimiliki debitur NPL, maka LK harus mampu melakukan split dan swap agar dapat menentukan dengan pasti komposisi jenis surat berharga yang akan memberikan keuntungan yang maksimal kepada investor dan juga bank. Maka dalam hal ini, pengalaman LK dalam melakukan managemen keuangan dan juga finance engineering sangat dibutuhkan. (contoh Lampiran V dan VI)
3. Investor
Investor adalah salah satu pihak yang penting dalam kegiatan yang dilakukan oleh SPV. Investor yang akan melakukan penilaian tersendiri atas penawaran yang diajukan oleh SPV dengan jaminan dari pihak LK bahwa pihak LK dapat memberikan keuntungan bagi investor. (Lampiran I Quote ‘strategic adverse selection problem’)
4. Pemerintah (Gov’t)
Gov’t mempunyai peran penting dalam tugas yang dilaksanankan oleh SPV. Gov’t secara tidak langsung akan mendapatkan keuntungan dari berjalannya kegiatan SPV jika dilakukan dengan baik. Keuntungan yang di peroleh Gov’t adalah stimulasi ekonomi baik secara micro and macro, masuknya investasi ataupun cairnya capital yang dimiliki oleh investor, meningkatkan tingkat perputaran uang sehingga gov’t dapat menjaga stabilitas ekonomi dengan mengatur kebijakan moneter dan fiskal lebih baik karena stagnasi akibat rendahnya perekonomian berkurang dengan adanya SPV.
Dalam SPV. Gov’t juga mempunyai kewajiban untuk memayungi SPV dalam bentuk peraturan-peraturan yang mengacu pada Good Coorporate Governance (GCG) dan juga memberi kepastian terhadap investor asing yang akan masuk terhadap kepastian hukum. Gov’t juga memberikan insentif terhadap transaksi yang dilakukan SPV seperti insentif pajak, jangka waktu pembayaran kewajiban, keamanan dll.
Karakteristik SPV
1. Independen
Dalam mekanisme pelaksanaan, SPV harus bersifat independen, tidak boleh ada conflict of interest dari pihak-pihak yang terkait dengan penugasan SPV seperti bank, LK, investor maupun pemerintah. Hal ini untuk menjamin bahwa transaksi atas surat-surat berharga dijual sesuai dengan harga ekuilibrium tanpa terjadi distorsi. Dan semua karyawan yang terlibat dalam program SPV tidak boleh berasal dari pihak bank atau investor.
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup SPV hanya dibatasi pada NPL yang mempunyai jaminan asset di bank. Jadi NPL yang terjadi tanpa adanya jaminan seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) tidak bisa masuk dalam program SPV. Dan jumlah NPL yang dimasukkan dalam program SPV mempunyai batasan maksimal dihitung sesuai perbandingan NPL dan likuiditas yang dimiliki oleh bank dan atau asset-asset bank selain likuiditas.
Hal ini diperlukan jika terdapat kendala yang mengakibatkan NPL yang ikut dalam program SPV mengalami kerugian, sehingga pihak bank dapat membayar kewajibannya sesuai perjanjian kepada investor.
3. Jangka Waktu
Program SPV harus mempunyai jangka waktu pelaksanaan. Hal ini diperlukan karena SPV adalah sebuah program yang bersifat sementara (temporary) sehingga harus ditentukan jangka waktu pelaksanaan dari program SPV. Alasan dari hal tersebut diatas adalah diharapkan dengan adanya SPV maka tingkat analisa dan evaluasi terhadap pemberian kredit oleh bank semakin baik sehingga NPL akan semakin berkurang, demikian juga NPL yang ada dapat dikurangi. Dan SPV juga harus dapat di evaluasi oleh sebuah badan pengawas seperti DPR, Depkeu atau BI. Dengan adanya jangka waktu, dapat pula diketahui kinerja dari program SPV apakah memang bermanfaat bagi perkembangan ekonomi macro.
4. Insentif
Dalam program SPV, pihak-pihak yang terkait mendapat kompensasi timbal balik atas transaksi yang dilakukan. Sebagai contoh yang pertama adalah insentif pajak. Dalam hal terjadinya transaksi, maka pihak penjual dan pembeli mendapat insentif pajak dalam bentuk pengurangan tarif pajak dari tarif pajak yang berlaku normal. Contoh kedua adalah berkurangnya biaya-biaya lainnya yang harus ditanggung oleh investor dan pihak bank dalam bertransaksi seperti pengurangan prosedur dari yang berlaku umum sehingga dapat mengurangi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
5. Kendala
Dalam pelaksanaan program SPV terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh SPV terutama yang berlaku di suatu negara untuk investor. Sebagai contoh :
a. Peraturan dan kebijakan pemerintah
Undang-undang dan peraturan yang berlaku bisa menjadi suatu barrier bagi investor untuk menanam uang dalam program SPV. Misalnya peraturan mengenai Tanah dan Bangunan. Tiap negara mempunyai peraturan yang berbeda mengenai Tanah dan Bangunan, yang menjadi bahan pemikiran investor adalah jangka waktu investasi dan jangka waktu memiliki Tanah dan Bangunan di suatu negara untuk pemanfaatannya. Sebab jika suatu usaha gagal dan terjadi perubahan fungsi usaha diatas Tanah dan Bangunan tersebut akan memakan waktu berapa lama dalam pengurusannya sampai kembali dapat berusaha secara aktif dan memberi keuntungan bagi investor. Ataupun Undang-undang mengenai perburuhan yang berlaku disuatu negara apakah benar-benar dapat menjamin investasi dapat dibayar tepat pada waktu. Dan juga tentu saja peraturan perpajakan yang pasti sangat diperlukan oleh investor.
b. Social Culture
Social Culture suatu negara sangat mempengaruhi tingkat investasi. Social culture merupakan faktor yang tidak dapat diprediksi secara pasti, tetapi investor tetap menginginkan adanya standar deviasi dari social culture masyarakat dimana usaha tempat investor menanam capital dapat aman dari kendala akibat dari social culture sebuah populasi. Sebagai contoh adalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara terkorup didunia, berarti secara general masyarakat international mengenal masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang suka korup, yang berarti berapapun capital yang di invest, kemungkinan besar ada dana yang diselewengkan. Hal ini menyebabkan investor asing enggan untuk menanam capital di Indonesia.
c. Gov’t Guarantee
Jaminan dari Gov’t dalam bentuk keamanan, hukum dan keuangan. Semua investasi asing disuatu negara tentu saja memerlukan jaminan yang pasti dan berlaku sama bagi semua pihak.
d. International Standards
Bank-bank, Lembaga Keuangan dan Pemerintahan suatu negara harus benar-benar memenuhi standard yang ditetapkan secara international agar investor dapat diyakinkan untuk menanam investasi disuatu negara. Sebagai contoh, badan penilai/appraisal apakah memenuhi standard international dalam melakukan penilaian, apakah bank-bank yang ikut program SPV memenuhi standard international dalam pengelolaan dan mekanisme keuangan dll.
6. Mekanisme SPV
Lampiran I Hal 15 dan 16
Lampiran III Hal 2
gtp 24/11/05
Mane Nobiscum Domine
Penyajian Aset Tetap dalam Neraca Pemerintah
Pendahuluan
Dasar hukum dari penyajian aset tetap dalam neraca pemerintah adalah :
a. UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
b. UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
c. UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
d. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
e. UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam amanat UU tersebut diatas adalah Neraca Negara. Neraca merupakan laporan yang menunjukkan posisi keuangan berupa aset, hutang dan kekayaan pada suatu tanggal tertentu. Salah satu komponen utama dalam neraca adalah aset tetap atau barang milik negara yang terdiri dari pemerintah pusat dan daerah. Tuntutan penyajian laporan keuangan negara adalah menciptakan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang akuntabel dan transparan.
Berdasarkan pengalaman pemerintah dalam menyusun neraca, komponen aset adalah hal yang paling sulit untuk diakui. Hal ini terkait dengan banyaknya jenis aset tetap yang dimiliki pemerintah termasuk aset budaya/sejarah, aset kemiliteran dan aset infrastruktur yang memerlukan perlakuan yang spesifik.
Pada saat ini neraca yang disajikan oleh pemerintah secara struktural dan tugas fungsi penyusunan laporan keuangan melekat di Biro/Bagian Keuangan sedangkan pencatatan aset tetap ditangani oleh Biro/Bagian Perlengkapan/Umum. Selama ini Biro/Bagian Keuangan hanya mencatat arus kas uang dan Biro/Bagian Aset hanya mencatat aset/barang saja. Dengan kata lain tidak ada integrasi antara arus uang dan arus barang karena terpisahnya unit yang melakukan pencatatan dan sistem akuntansi yang digunakan masih single entry. Padahal arus uang atau belanja pemerintah sebagian besar digunakan untuk belanja modal aset tetap yang seharusnya dilaporkan dalam neraca.
Kondisi yang diinginkan seharusnya neraca dihasilkan melalui suatu sistem akuntansi yang berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang mengintegrasikan arus uang dan arus barang dengan menerapkan double entry. Dan pemahaman akan pentingnya akuntansi sehingga tidak terbatas pada administrasi aset tetapi juga pada pengelolaan aset.
Standar dan Praktik Penyajian Aset Tetap dalam Neraca menurut IPSAS dan Negara Maju
Akuntansi Aset Tetap menurut International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) mengatur perlakuan akuntansi untuk organisasi publik yaitu seluruh organisasi Nirlaba. Aset dalam IPSAS dikelompokkan menjadi aset lancar dan aset tetap. Dan aset tetap hanya terdiri dari property, plant and equipment (PP&E). Adapun definisi PP&E adalah :
- suatu aset yang mempunyai manfaat ekonomi dimasa datang atau potensi jasa yang akan diterima oleh suatu entitas terkait dengan aset tersebut.
- Perolehan atau nilai wajar dari aset tersebut dapat diukur dengan andal.
Jadi dari kriteria diatas dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. Aset yang bercorak budaya/sejarah tidak masuk dalam kelompok PP&E dan tidak dilaporkan dalam neraca dengan alasan bahwa nilai perolehan atau nilai wajar aset tersebut tidak dapat diukur dengan andal. Jika suatu entitas pemerintah ingin melaporkan aset budaya/sejarah maka cukup mengungkapkan pada Catatan atas Laporan Keuangan.
2. Aset yang terkait dengan infrastruktur seperti jalan, jembatan, irigasi dan lain-lain dapat dimasukkan sebagai PP&E.
3. Aset yang masuk kategori PP&E adalah aset jangka panjang yang siap digunakan. Maka kontruksi dalam pengerjaan tidak dimasukkan.
4. Aset kemiliteran/peralatan militer dapat dimasukkan dalam PP&E.
Pengakuan dan Pengukuran
PP&E dicatat sebesar harga perolehan, jika harga perolehan tidak ada atau tidak diketahui dapat digunakan harga wajar pada saat aset diperoleh. Komponen biaya perolehan sesuai dengan IPSAS adalah seluruh biaya yang dikeluarkan (directly attribute cost) entitas untuk memperoleh PP&E sampai siap digunakan. Komponen biaya yang termasuk directly attribute cost adalah :
1. biaya persiapan tempat (cost of site preparation)
2. biaya instalasi (installation cost)
3. biaya pengiriman dan penyimpanan awal (initial delivery and handling cost)
4. biaya professional seperti consultan fee (professioanl fees)
5. biaya provisi lainnya.
Perlakuan tentang pengeluaran sesudah perolehan PP&E adalah :
1. Pengeluaran yang terkait dengan PP&E tersebut mengakibatkan bertambahnya manfaat ekonomi aset dimasa datang maka menambah PP&E (carrying amount).
2. Jika persyaratan no.1 diatas tidak terpenuhi maka pengeluaran tersebut diakui sebagai biaya pada saat periode tersebut.
3. PP&E yang dilepaskan (disposal) atau secara permanen ditarik dari pengunaannya atau tidak mempunyai nilai ekonomis lagi maka harus dikeluarkan dari kelompok PP&E. Laba atau rugi yang timbul harus diakui dengan membandingkan nilai buku dan harga penjualan/pelepasan.
Depresiasi
Oleh sebab IPSAS menggunakan standar akuntansi berbasis akrual maka pendapatan atau biaya yang timbul pada saat transaksi atau timbulnya hak/kewajiban. Sebagai konsekuensi hal tersebut maka depresiasi diakui sebagai biaya dan mengurangi nilai PP&E.
Metode yang digunakan adalah garis lurus, saldo menurun, sum of the unit method. Metode depresiasi yang digunakan harus menggambarkan pola konsumsi PP&E oleh entitas. Khusus untuk tanah tidak dilakukan penyusutan dengan alasan bahwa umur tanah tidak terbatas dan secara umum harga tanah terus naik. Jika tanah dan bangunan diperoleh secara bersamaan maka diperlakukan secara khusus yaitu bangunan disusutkan sedangkan tanah tidak disusutkan.
Pengungkapan
Hal-hal yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan yang berkaitan dengan PP&E adalah:
1. Dasar pengukuran penentuan nilai ( gross carrying amount)
2. Metode penyusutan yang digunakan
3. Umur ekonomis PP&E dan tingkat penyusutan yang diterapkan.
4. Nilai bruto saat ini dan akumulasi penyusutan pada awal periode akuntansi dan akumulasi penyusutan akhir periode akuntansi.
5. Rekonsiliasi jumlah carrying amount pada awal periode akuntansi dan akumulasi penyusutan akhir periode akuntansi.
6. Informasi lain yang dianggap penting untuk diungkapkan.
Praktek Akuntansi Aset Tetap di Beberapa Negara
I. Kanada
Pemerintah Kanada tidak pernah melaporkan aset tetap di laporan keuangan. Hal ini karena pembelian aset tetap berupa tanah, gedung dan bangunan serta properti lainnya langsung dicatat sebagai biaya pada saat perolehan aset yang bersangkutan atau pada saat kontruksi sebesar biaya perolehannya.
II. USA (Federal)
PP&E disajikan dalam neraca pemerintah dan tidak terdapat perbedaan antara aset lancar/non lancar. Rincian terdiri dari :
1. Tanah dan Pengembangan Tanah
2. Bangunan
3. Peralatan dan Mesin
4. Infrastruktur
5. Software pemrosesan data yang otomatis
6. Kontruksi dalam pengerjaan
7. Capital Lease
Penilaian PP&E berdasarkan harga perolehan dan depresiasi dilakukan selama tahun berjalan dan mengurangi nilai PP&E.
III. Australia
Australi memiliki persamaan dengan USA dalam menerapkan standar akuntansi terhadap PP&E. Perbedaan yang terjadi adalah pada Kontruksi Dalam Pengerjaan (KDP). Di USA KDP hanya dalam satu kategori yang mencakup seluruh aset yang sedang dalam pengerjaan. Di Australia, KDP dibagi sesuai dengan kategori aset yang sedang kontruksi. Misal bangunan yang sedang dibangun dimasukkan dalam KDP Bangunan, sedang pemasangan atau pembangunan mesin pembangkit listrik masuk dalam KDP Peralatan dan Mesin.
Penilaian PP&E berdasarkan harga perolehan dan depresiasi dilakukan selama tahun berjalan dan mengurangi nilai PP&E. Khusus untuk tanah dan bangunan menggunakan nilai wajar berdasarkan penilaian yang independen.
IV. Barcelona
Hal yang menarik dari pencatatan aset tetap di Barcelona adalah :
1. Aset yang diserahkan sementara kepada pihak lain dilaporkan sebagai pengurang aset tetap tetapi depresiasi terhadap aset tersebut tetap dilaporkan.
2. Infrastruktur yang dibangun untuk kepentingan masyarakat akan dicatat pada neraca, tetapi Pemerintah Kota juga mengurangkan aset infrastruktur tersebut dari neraca sebesar nilai infrastruktur yang digunakan masyarakat.
3. Jadi aset tetap bersih Pemerintah Kota Barcelona yang dilaporkan dalam neraca adalah aset yang benar-benar digunakan oleh Pemerintah Kota Barcelona dalam kegiatan operasionalnya dan sesudah dikurangi akumulasi penyusutan.
4. Tanah dan bangunan yang diperoleh sebelum 1 Januari 2001 dinilai sesuai dengan nilai pasar pada saat laporan disusun. Penambahan aset dilakukan sesuai dengan harga perolehan, sedangkan hibah dihitung berdasarkan nilai yang ditetapkan appraiser.
5. Untuk peralatan dan mesin sebelum 1 Januari 192 menggunakan nilai pasar saat penilaian.
Akuntansi Aset Tetap Pada Neraca Pemerintah Indonesia
Syarat yang harus dipenuhi untuk diakui/dicatat sebagai aset tetap di neraca adalah :
- Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan.
- Biaya perolehan dapat diukur
- Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasional normal entitas
- Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan.
Hal ini berarti sumber daya manusia, sumber daya alam aset budaya/sejarah tidak dapat dimasukkan dalam neraca. Untuk aset sejarah/budaya harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Aset militer dimasukkan dalam neraca pemerintah.
Kualifikasi aset tetap menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) adalah :
- tanah
- peralatan dan mesin
- gedung dan bangunan
- jalan, irigasi dan bangunan
- aset tetap lainnya
- kontruksi dalam pengerjaan.
Pemerintah mengakui atau mencatat aset tetap jika aset tersebut telah diterima ata udiserahkan hak kepemilikannya dan atau pada saat penguasaannya berpindah dengan adanya pemindahan bukti hak kepemilikan atau hak penguasaan. Aset tetap tersebut dicatat sebesar harga perolehan. Jika harga perolehan tidak didapat maka dinilai berdasarkan nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh.
Aset tetap yang diperoleh secara gabungan maka harga per satuan aset tetap ditentukan dengan mengalokasikan harga gabungan tersebut berdasarkan perbandingan nilai wajar masing-masing aset. Sedangkan jika aset tersebut diperoleh melalui pertukaran, maka perlakuan akuntansinya adalah :
1. Aset tetap yang diperoleh melalui pertukaran aset tetap yang tidak serupa dinilai berdasarkan nilai wajar aset yang diperoleh.
2. Aset tetap yang diperoleh melalui pertukaran aset tetap yang serupa dinilai sebesar nilai aset yang dilepaskan.
3. Tidak mengakui adanya laba atau rugi dari pertukaran aset tetap.
Penilaian PP&E berdasarkan harga perolehan dan depresiasi dilakukan selama tahun berjalan dan mengurangi nilai PP&E.
Hal-hal yang harus diungkapkan yang terkait dengan aset tetap adalah :
1. Dasar penilaian yang digunakan untuk menentukan nilai tercatat
2. Informasi penyusutan yang digunakan.
3. Eksistensi dan batasan hak milik atas aset tetap
4. Kebijakan akuntansi untuk kapitalisasi aset tetap dalam kontruksi
5. Jumlah pengeluaran pada perkiraan aset tetap awal periode akuntansi dengan jumlah pada akhir periode akuntansi
6. Jumlah komitmen untuk akuisisi aset tetap.
7. Informasi lain yang dianggap penting untuk diungkapkan.
Untuk menjalankan program standar akuntansi pemerintah terhadap aset tetap dengan baik, ada beberap hal yang harus segera dilakukan pembenahan oleh pemerintah yaitu :
1. Melakukan inventarisasi atas aset yang dimiliki tiap unit pemerintah.
2. Menertibkan pencatatan aset tetap untuk menjamin keakuratan data.
3. Menerapkan akuntansi aset untuk mendukung penyusunan neraca dan pengelolaan aset.
4. Meningkatkan kualitas SDM yang menangani aset tetap.
5. Menyusun neraca awal sesuai PP SAP sebagai dasar penyusunan neraca di masa datang.
Dasar hukum dari penyajian aset tetap dalam neraca pemerintah adalah :
a. UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
b. UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
c. UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
d. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
e. UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam amanat UU tersebut diatas adalah Neraca Negara. Neraca merupakan laporan yang menunjukkan posisi keuangan berupa aset, hutang dan kekayaan pada suatu tanggal tertentu. Salah satu komponen utama dalam neraca adalah aset tetap atau barang milik negara yang terdiri dari pemerintah pusat dan daerah. Tuntutan penyajian laporan keuangan negara adalah menciptakan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang akuntabel dan transparan.
Berdasarkan pengalaman pemerintah dalam menyusun neraca, komponen aset adalah hal yang paling sulit untuk diakui. Hal ini terkait dengan banyaknya jenis aset tetap yang dimiliki pemerintah termasuk aset budaya/sejarah, aset kemiliteran dan aset infrastruktur yang memerlukan perlakuan yang spesifik.
Pada saat ini neraca yang disajikan oleh pemerintah secara struktural dan tugas fungsi penyusunan laporan keuangan melekat di Biro/Bagian Keuangan sedangkan pencatatan aset tetap ditangani oleh Biro/Bagian Perlengkapan/Umum. Selama ini Biro/Bagian Keuangan hanya mencatat arus kas uang dan Biro/Bagian Aset hanya mencatat aset/barang saja. Dengan kata lain tidak ada integrasi antara arus uang dan arus barang karena terpisahnya unit yang melakukan pencatatan dan sistem akuntansi yang digunakan masih single entry. Padahal arus uang atau belanja pemerintah sebagian besar digunakan untuk belanja modal aset tetap yang seharusnya dilaporkan dalam neraca.
Kondisi yang diinginkan seharusnya neraca dihasilkan melalui suatu sistem akuntansi yang berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang mengintegrasikan arus uang dan arus barang dengan menerapkan double entry. Dan pemahaman akan pentingnya akuntansi sehingga tidak terbatas pada administrasi aset tetapi juga pada pengelolaan aset.
Standar dan Praktik Penyajian Aset Tetap dalam Neraca menurut IPSAS dan Negara Maju
Akuntansi Aset Tetap menurut International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) mengatur perlakuan akuntansi untuk organisasi publik yaitu seluruh organisasi Nirlaba. Aset dalam IPSAS dikelompokkan menjadi aset lancar dan aset tetap. Dan aset tetap hanya terdiri dari property, plant and equipment (PP&E). Adapun definisi PP&E adalah :
- suatu aset yang mempunyai manfaat ekonomi dimasa datang atau potensi jasa yang akan diterima oleh suatu entitas terkait dengan aset tersebut.
- Perolehan atau nilai wajar dari aset tersebut dapat diukur dengan andal.
Jadi dari kriteria diatas dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. Aset yang bercorak budaya/sejarah tidak masuk dalam kelompok PP&E dan tidak dilaporkan dalam neraca dengan alasan bahwa nilai perolehan atau nilai wajar aset tersebut tidak dapat diukur dengan andal. Jika suatu entitas pemerintah ingin melaporkan aset budaya/sejarah maka cukup mengungkapkan pada Catatan atas Laporan Keuangan.
2. Aset yang terkait dengan infrastruktur seperti jalan, jembatan, irigasi dan lain-lain dapat dimasukkan sebagai PP&E.
3. Aset yang masuk kategori PP&E adalah aset jangka panjang yang siap digunakan. Maka kontruksi dalam pengerjaan tidak dimasukkan.
4. Aset kemiliteran/peralatan militer dapat dimasukkan dalam PP&E.
Pengakuan dan Pengukuran
PP&E dicatat sebesar harga perolehan, jika harga perolehan tidak ada atau tidak diketahui dapat digunakan harga wajar pada saat aset diperoleh. Komponen biaya perolehan sesuai dengan IPSAS adalah seluruh biaya yang dikeluarkan (directly attribute cost) entitas untuk memperoleh PP&E sampai siap digunakan. Komponen biaya yang termasuk directly attribute cost adalah :
1. biaya persiapan tempat (cost of site preparation)
2. biaya instalasi (installation cost)
3. biaya pengiriman dan penyimpanan awal (initial delivery and handling cost)
4. biaya professional seperti consultan fee (professioanl fees)
5. biaya provisi lainnya.
Perlakuan tentang pengeluaran sesudah perolehan PP&E adalah :
1. Pengeluaran yang terkait dengan PP&E tersebut mengakibatkan bertambahnya manfaat ekonomi aset dimasa datang maka menambah PP&E (carrying amount).
2. Jika persyaratan no.1 diatas tidak terpenuhi maka pengeluaran tersebut diakui sebagai biaya pada saat periode tersebut.
3. PP&E yang dilepaskan (disposal) atau secara permanen ditarik dari pengunaannya atau tidak mempunyai nilai ekonomis lagi maka harus dikeluarkan dari kelompok PP&E. Laba atau rugi yang timbul harus diakui dengan membandingkan nilai buku dan harga penjualan/pelepasan.
Depresiasi
Oleh sebab IPSAS menggunakan standar akuntansi berbasis akrual maka pendapatan atau biaya yang timbul pada saat transaksi atau timbulnya hak/kewajiban. Sebagai konsekuensi hal tersebut maka depresiasi diakui sebagai biaya dan mengurangi nilai PP&E.
Metode yang digunakan adalah garis lurus, saldo menurun, sum of the unit method. Metode depresiasi yang digunakan harus menggambarkan pola konsumsi PP&E oleh entitas. Khusus untuk tanah tidak dilakukan penyusutan dengan alasan bahwa umur tanah tidak terbatas dan secara umum harga tanah terus naik. Jika tanah dan bangunan diperoleh secara bersamaan maka diperlakukan secara khusus yaitu bangunan disusutkan sedangkan tanah tidak disusutkan.
Pengungkapan
Hal-hal yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan yang berkaitan dengan PP&E adalah:
1. Dasar pengukuran penentuan nilai ( gross carrying amount)
2. Metode penyusutan yang digunakan
3. Umur ekonomis PP&E dan tingkat penyusutan yang diterapkan.
4. Nilai bruto saat ini dan akumulasi penyusutan pada awal periode akuntansi dan akumulasi penyusutan akhir periode akuntansi.
5. Rekonsiliasi jumlah carrying amount pada awal periode akuntansi dan akumulasi penyusutan akhir periode akuntansi.
6. Informasi lain yang dianggap penting untuk diungkapkan.
Praktek Akuntansi Aset Tetap di Beberapa Negara
I. Kanada
Pemerintah Kanada tidak pernah melaporkan aset tetap di laporan keuangan. Hal ini karena pembelian aset tetap berupa tanah, gedung dan bangunan serta properti lainnya langsung dicatat sebagai biaya pada saat perolehan aset yang bersangkutan atau pada saat kontruksi sebesar biaya perolehannya.
II. USA (Federal)
PP&E disajikan dalam neraca pemerintah dan tidak terdapat perbedaan antara aset lancar/non lancar. Rincian terdiri dari :
1. Tanah dan Pengembangan Tanah
2. Bangunan
3. Peralatan dan Mesin
4. Infrastruktur
5. Software pemrosesan data yang otomatis
6. Kontruksi dalam pengerjaan
7. Capital Lease
Penilaian PP&E berdasarkan harga perolehan dan depresiasi dilakukan selama tahun berjalan dan mengurangi nilai PP&E.
III. Australia
Australi memiliki persamaan dengan USA dalam menerapkan standar akuntansi terhadap PP&E. Perbedaan yang terjadi adalah pada Kontruksi Dalam Pengerjaan (KDP). Di USA KDP hanya dalam satu kategori yang mencakup seluruh aset yang sedang dalam pengerjaan. Di Australia, KDP dibagi sesuai dengan kategori aset yang sedang kontruksi. Misal bangunan yang sedang dibangun dimasukkan dalam KDP Bangunan, sedang pemasangan atau pembangunan mesin pembangkit listrik masuk dalam KDP Peralatan dan Mesin.
Penilaian PP&E berdasarkan harga perolehan dan depresiasi dilakukan selama tahun berjalan dan mengurangi nilai PP&E. Khusus untuk tanah dan bangunan menggunakan nilai wajar berdasarkan penilaian yang independen.
IV. Barcelona
Hal yang menarik dari pencatatan aset tetap di Barcelona adalah :
1. Aset yang diserahkan sementara kepada pihak lain dilaporkan sebagai pengurang aset tetap tetapi depresiasi terhadap aset tersebut tetap dilaporkan.
2. Infrastruktur yang dibangun untuk kepentingan masyarakat akan dicatat pada neraca, tetapi Pemerintah Kota juga mengurangkan aset infrastruktur tersebut dari neraca sebesar nilai infrastruktur yang digunakan masyarakat.
3. Jadi aset tetap bersih Pemerintah Kota Barcelona yang dilaporkan dalam neraca adalah aset yang benar-benar digunakan oleh Pemerintah Kota Barcelona dalam kegiatan operasionalnya dan sesudah dikurangi akumulasi penyusutan.
4. Tanah dan bangunan yang diperoleh sebelum 1 Januari 2001 dinilai sesuai dengan nilai pasar pada saat laporan disusun. Penambahan aset dilakukan sesuai dengan harga perolehan, sedangkan hibah dihitung berdasarkan nilai yang ditetapkan appraiser.
5. Untuk peralatan dan mesin sebelum 1 Januari 192 menggunakan nilai pasar saat penilaian.
Akuntansi Aset Tetap Pada Neraca Pemerintah Indonesia
Syarat yang harus dipenuhi untuk diakui/dicatat sebagai aset tetap di neraca adalah :
- Mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan.
- Biaya perolehan dapat diukur
- Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasional normal entitas
- Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan.
Hal ini berarti sumber daya manusia, sumber daya alam aset budaya/sejarah tidak dapat dimasukkan dalam neraca. Untuk aset sejarah/budaya harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Aset militer dimasukkan dalam neraca pemerintah.
Kualifikasi aset tetap menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) adalah :
- tanah
- peralatan dan mesin
- gedung dan bangunan
- jalan, irigasi dan bangunan
- aset tetap lainnya
- kontruksi dalam pengerjaan.
Pemerintah mengakui atau mencatat aset tetap jika aset tersebut telah diterima ata udiserahkan hak kepemilikannya dan atau pada saat penguasaannya berpindah dengan adanya pemindahan bukti hak kepemilikan atau hak penguasaan. Aset tetap tersebut dicatat sebesar harga perolehan. Jika harga perolehan tidak didapat maka dinilai berdasarkan nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh.
Aset tetap yang diperoleh secara gabungan maka harga per satuan aset tetap ditentukan dengan mengalokasikan harga gabungan tersebut berdasarkan perbandingan nilai wajar masing-masing aset. Sedangkan jika aset tersebut diperoleh melalui pertukaran, maka perlakuan akuntansinya adalah :
1. Aset tetap yang diperoleh melalui pertukaran aset tetap yang tidak serupa dinilai berdasarkan nilai wajar aset yang diperoleh.
2. Aset tetap yang diperoleh melalui pertukaran aset tetap yang serupa dinilai sebesar nilai aset yang dilepaskan.
3. Tidak mengakui adanya laba atau rugi dari pertukaran aset tetap.
Penilaian PP&E berdasarkan harga perolehan dan depresiasi dilakukan selama tahun berjalan dan mengurangi nilai PP&E.
Hal-hal yang harus diungkapkan yang terkait dengan aset tetap adalah :
1. Dasar penilaian yang digunakan untuk menentukan nilai tercatat
2. Informasi penyusutan yang digunakan.
3. Eksistensi dan batasan hak milik atas aset tetap
4. Kebijakan akuntansi untuk kapitalisasi aset tetap dalam kontruksi
5. Jumlah pengeluaran pada perkiraan aset tetap awal periode akuntansi dengan jumlah pada akhir periode akuntansi
6. Jumlah komitmen untuk akuisisi aset tetap.
7. Informasi lain yang dianggap penting untuk diungkapkan.
Untuk menjalankan program standar akuntansi pemerintah terhadap aset tetap dengan baik, ada beberap hal yang harus segera dilakukan pembenahan oleh pemerintah yaitu :
1. Melakukan inventarisasi atas aset yang dimiliki tiap unit pemerintah.
2. Menertibkan pencatatan aset tetap untuk menjamin keakuratan data.
3. Menerapkan akuntansi aset untuk mendukung penyusunan neraca dan pengelolaan aset.
4. Meningkatkan kualitas SDM yang menangani aset tetap.
5. Menyusun neraca awal sesuai PP SAP sebagai dasar penyusunan neraca di masa datang.
M.E.D.I.A.S.I
(Untuk Restrukturisasi Utang)
Salah satu lembaga mediasi yang ada saat ini adalah Satuan Tugas Prakarsa Jakarta.
Tujuan utama pembentukan Prakarsa Jakarta adalah membantu percepatan usaha restrukturisasi utang pihak swasta melalui mediasi.
Peran Prakarsa Jakarta adalah :
1. Menjadi mediator antara debitor dan kreditor dalam negosiasi restrukturisasi utang.
2. Sebagai fasilitator antara debitor dan kreditor dalam menyelesaikan konflik yang ada diluar system pengadilan.
Prinsip-prinsip mediasi yang digunakan oleh Prakarsa Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Kebijakan Sektor Keuangan (SKKSK) No. 01B/2000 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban partisipasi seluruh pihak dalam proses mediasi.
2. Upaya maksimal untuk mencapai mufakat.
3. Penggunaan pendekatan restrukturisasi dengan pola Best Commercial Practise.
4. Menghormati hak-hak para pihak terkait.
Ruang lingkup kerja Prakarsa Jakarta adalah menjadi mediator ataupun fasilitator kasus-kasus BPPN sebagai kreditor minoritas, dalam pengertian mempunyai utang dari satu debitor kurang dari 50 %. Jika BPPN menginginkan kerjasama dengan Prakarsa Jakarta dimana BPPN menjadi kreditor mayoritas, maka BPPN harus meminta secara tertulis ke Prakarsa Jakarta.
Tahapan kerja Prakarsa Jakarta :
1. Initiation Stage
2. Preparation Stage
3. Mediation Stage
4. Final Mediation Stage
System kerja yan digunakan oleh Prakarsa Jakarta dalam melaksanakan tugas diwujudkan dalam system sticks and carrots dalam mempercepat tercapainya suatu kesepakatan restrukturisasi utang.
Dalam Prakarsa Jakarta, debitor dan kreditor digolongkan menjadi kooperatif dan tidak kooperatif. Hal ini agar memudahkan proses mediasi.
Kategori pihak yang kooperatif adalah :
1. Para pihak selalu menghadiri suatu pertemuan mediasi yang telah dijadwalkan sesuai kesepakatan.
2. Para pihak menunjukkan itikad baik dalam proses mediasi tersebut.
Kategori pihak yang tidak kooperatif adalah ;
1. Para pihak secara tidak sengaja tidak menghadiri suatu pertemuan mediasi yang telah dijadwalkan sesuai kesepakatan.
2. Para pihak tidak menunjukkan itikad baik dalam proses mediasi tersebut.
Insentif yang diberikan Prakarsa Jakarta bagi pihak yang kooperatif:
1. Dalam perpajakan berdasarkan UU PPh Pasal 31 B yaitu :
Diskon 30% atas pajak terutang untuk transaksi pengampunan utang dan debt to asset swap.
Netral tax untuk transaksi debt to equity sepanjang nilai equity sama dengan nilai utang.
Witholding tax hanya dibayarkan berdasarkan cash payment.
2. Perbankan : Adanya kerjasama dengan BI mengenai BPMK.
3. Pasar Modal : Adanya kerjasama dengan BEJ dan BES untuk perusahaan yang telah terdaftar di pasar modal.
Sanksi yang diberikan oleh Prakarsa Jakarta kepada pihak yang tidak kooperatif adalah ;
1. Pengumuman nama pihak yang tidak kooperatif.
2. Mengajukan kasus tersebut kepada Pengadilan Niaga untuk proses kepailitan.
Data Statistik :
Jenis Kasus Jumlah Kasus Total Utang
(Ekuivalen USD)
Terdaftar 128 USD 30.30 milyar
Aktif 56 USD 14.28 milyar
Restructured 72 USD 16.01 milyar
Catatan :
Yang ditangani oleh Prakarsa Jakarta adalah USD 30.30 milyar dan total utang swasta adalah USD 120 milyar.
M.E.D.I.A.S.I
(Literally and Experiences)
Background kreditor (menurut Arief Surowidjojo) :
1. Kreditor antara USD 5 juta dan USD 10 juta, bahkan USD 100 juta.
2. Kreditor yang sudah tidak tertarik lagi untuk berinvestasi di Indonesia karena berbagai hal, sehingga menjual piutangnya kepada pihak lain.
3. Kreditor yang sudah frustasi karena debitor tidak sanggup lagi melunasi hutang-hutangnya secara maksimal walaupun dipailitkan.
Menurut Arief S, recovery rate di Korea hampir 40%, Thailand 30% dan Indonesia lebih kecil dari itu walaupun dalam undang-undang diharapkan target recovery rate 70% dari total utang.Hal yang membuat recovery rate di Indonesia karena kreditor tidak dapat memprediksi hasil yang diperoleh karena barang jaminan tidak mencukupi. Kasus PT.Astra dimana PT.Astra dapat melunasi hutang dengan restrukturisasi dikarenakan semangat dari PT.Astra dan jaminan dari pemegang saham utama.
Hal yang diharapkan oleh debitur dalam restrukturisasi utang adalah penjadwalan ulang yang jangka waktunya 3 tahun diperpanjang menjadi 5 tahun atau 8 tahun. Sebaliknya dari pihak kreditor, kreditor hanya mau memberikan restrukturisasi selama ada jaminan bahwa debitor dapat membayar lunas utang-utangnya setelah memprediksi resiko usaha dari debitor.
Masalah awal yang dihadapi dalam mediasi :
1. Ada pihak yang menghindar atau segan untuk bertemu dan ada anggapan jika pihak yang bersangkutan meninggal maka utang menjadi lunas.
2. Negosiasi, kedua belah pihak telah melakukan negosiasi dan tidak mencapai kesepakatan sehingga masalah diselesaikan secara litigasi atau arbitrase.
3. Mediasi secara informal sebagai wujud dari kebudayaan Indonesia untuk musyawarah dan mufakat sehingga berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian.
4. Premanisme untuk menyelesaikan sengketa.
Definisi Mediasi adalah suatu proses yang dilakukan oleh mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam bernegosiasi dan berkomunikasi sehingga tercipta kesepakatan baru.
Tugas mediator adalah :
1. Mengusasi keahlian bernegosiasi sehingga dapat menenangkan kedua belah pihak
2. Mengetahui cara berpikir dan keinginan kedua belah pihak.
3. Mediator juga harus pintar berkomunikasi untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi yang harus disampaikan dan mengatur proses komunikasi.
4. Tidak menentukan hasil akhir
5. Tidak mengusulkan dan tidak mengambil keputusan.
6. Netral
Hal-hal yang harus dilakukan dalam proses mediasi adalah :
1. Persiapan : mempelajari laporan-laporan, mewawancarai para pihak, mencari inti permasalahan.
2. Rapat mediasi : menerangkan proses, menyepakati proses, penjelasan para pihak, ringkasan oleh mediator, proses tawar menawar, dokumentasi.
Kekhawatiran umum mengenai mediasi adalah :
1. Apakah berhasil dan berjalan secara singkat ?
2. Apakah hak-hak umum akan hilang dan hak-hak hukum para pihak akan terganggu atau hilang ?
3. Adanya sikap pesimis terhadap mediator dalam menyelesaikan masalah.
4. Apakah mediasi cocok untuk semua kasus.
Atas kekhawatiran diatas, Arief S menjelaskan bahwa proses mediasi berhasil dan dapat berjalan secara singkat tergantung dari itikad baik pihak-pihak yang terkait. Sedangkan untuk hak-hak umum tidak akan hilang karena hasil mediasi tidak akan mengikat secara hukum sebelum ada kesepakatan tertulis dari pihak-pihak yang bersengketa, yang biasa disebut sebagai sans prejudice dalam surat-menyurat lawyer. Dan umumnya para lawyer menyarankan klien untuk tidak ikut program mediasi karena dikhawatirkan akan mengganggu proses kepailitan yang sedang dilaksanakan ataupun mengganggu proses litigasi dan arbitrase
Dan sikap pesimisme terhadap mediator dalam menyelesaikan masalah dikarenakan minimnya pengetahuan dari pihak-pihak yang bersengketa tentang mediasi. Di dunia hukum formal pun jarang di ketahui tentang mediasi. Keterbatasan pengetahuan mengenai mediasi oleh pihak lain yang merupakan proses awal yang dilakukan oleh Prakarsa Jakarta dalam memperkenalkan tugas dan fungsinya.
Umumnya mediasi tidak cocok untuk semua kasus karena berbagai hal, misalnya debitor yang bandel, atau recovery rate terlalu rendah sehingga memilih untuk dipailitkan saja.
Alasan para pihak yang tidak bisa sepakat adalah :
1. Para pihak mempunyai informasi yang berbeda
2. Para pihak menilai fakta dengan cara yang berbeda
3. Para pihak tidak sepakat terhadap waktu penyelesaian
4. Satu pihak ingin mempertahankan ‘status quo’
5. Unsur emosional
Namun timbul juga kekhawatiran umum mengenai litigasi, seperti :
1. Butuh waktu lama
2. Mahal
3. Para advokat berkepentingan memperpanjang proses
4. Hasil tidak pasti
5. Para pihak hilang kendali
6. Hasil tergantung keahlian advokat.
7. Landasan hukum yang digunakan tergantung pada negara tertentu.
Menurut Arief S, beberapa kasus mediasi yang telah masuk Prakarsa Jakarta kemungkinan masuk pengadilan dikarenakan :
1. Kasus yang semula tidak ada mediasi sehingga langsung dibawa ke pengadilan.
2. Kasus dimana sudah terjadi mediasi tetapi tidak tercapai kesepakatan.
3. Mediasi sudah tercapai dan sudah ditandatangani perjanjian baru, namun ada pihak yang default.
Badan mediasi juga telah diterapkan di berbagai negara seperti USA, UK, Philiphina dan Australia. Hal ini dikarenakan pemerintah ingin mengurangi biaya yang dikeluarkan akibat tingginya biaya sidang dan pengadilan akibat kasus yang sama, seperti kontraktor dan pemilik rumah dll.
Bahkan di USA telah berkembang badan mediasi seperti Prakarsa Jakarta seperti :
1. Mini Court yaitu semacam peradilan kecil yang merupakan badan swasta dimana anggotanya adalah orang-orang terhormat dan ahli dibidangnya. Caranya adalah masing-masing pihak memberikan argumentasi dan kemudian pihak ketiga yaitu panel yang memutuskan.
2. Partnering, dimana sejak awal telah dibentuk komite khusus. Partnering biasanya dibentuk untuk proyek-proyek pembangunan suatu infrastruktur, sehingga sejak awal sudah dicoba untuk diidentifikasikan permasalahan yang ada dan coba diselesaikan agar tidak ada masalah sampai proyek tersebut selesai.
Disamping kendala teknis, yang biasa muncul sebagai kendala non teknis adalah factor psikologis dari pihak-pihak yang bersengketa, seperti :
1. Pihak yang bersikeras
2. Pemegang kuasa yang tidak hadir
3. Tuntutan yang tidak realistis
4. Negosiasi yang macet
5. Pihak yang beremosi berlebihan.
Dalam hal ini, menurut Arief S, mediator harus menciptakan suasana agar pihak-pihak yang bersengketa mulai ragu akan tuntutan yang diajukan walapun mediator tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan.
Mengenai dasar hukum dari mediasi, pada umumnya lebih digantungkan pada kontrak atau perjanjian. Hal ini merupakan pilihan baru dalam dunia bisnis di Indonesia, tetapi mediasi adalah pilihan yang lebih baik sebelum kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Sedangkan menurut Sirande P, dasar hukum mediasi adalah pasal 6 UU No.30/1999 Bab 2 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kelemahan dari mediasi adalah hasil kesepakatan dari mediasi tersebut hanya didaftarkan ke pengadilan tanpa ada ketegasan dari fungsi kesepakatan tersebut. Dan menurut Abdul KM, dasar hukum lain dari mediasi adalah pasal 2 UU No.14/1970.
Salah satu lembaga mediasi yang ada saat ini adalah Satuan Tugas Prakarsa Jakarta.
Tujuan utama pembentukan Prakarsa Jakarta adalah membantu percepatan usaha restrukturisasi utang pihak swasta melalui mediasi.
Peran Prakarsa Jakarta adalah :
1. Menjadi mediator antara debitor dan kreditor dalam negosiasi restrukturisasi utang.
2. Sebagai fasilitator antara debitor dan kreditor dalam menyelesaikan konflik yang ada diluar system pengadilan.
Prinsip-prinsip mediasi yang digunakan oleh Prakarsa Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Kebijakan Sektor Keuangan (SKKSK) No. 01B/2000 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban partisipasi seluruh pihak dalam proses mediasi.
2. Upaya maksimal untuk mencapai mufakat.
3. Penggunaan pendekatan restrukturisasi dengan pola Best Commercial Practise.
4. Menghormati hak-hak para pihak terkait.
Ruang lingkup kerja Prakarsa Jakarta adalah menjadi mediator ataupun fasilitator kasus-kasus BPPN sebagai kreditor minoritas, dalam pengertian mempunyai utang dari satu debitor kurang dari 50 %. Jika BPPN menginginkan kerjasama dengan Prakarsa Jakarta dimana BPPN menjadi kreditor mayoritas, maka BPPN harus meminta secara tertulis ke Prakarsa Jakarta.
Tahapan kerja Prakarsa Jakarta :
1. Initiation Stage
2. Preparation Stage
3. Mediation Stage
4. Final Mediation Stage
System kerja yan digunakan oleh Prakarsa Jakarta dalam melaksanakan tugas diwujudkan dalam system sticks and carrots dalam mempercepat tercapainya suatu kesepakatan restrukturisasi utang.
Dalam Prakarsa Jakarta, debitor dan kreditor digolongkan menjadi kooperatif dan tidak kooperatif. Hal ini agar memudahkan proses mediasi.
Kategori pihak yang kooperatif adalah :
1. Para pihak selalu menghadiri suatu pertemuan mediasi yang telah dijadwalkan sesuai kesepakatan.
2. Para pihak menunjukkan itikad baik dalam proses mediasi tersebut.
Kategori pihak yang tidak kooperatif adalah ;
1. Para pihak secara tidak sengaja tidak menghadiri suatu pertemuan mediasi yang telah dijadwalkan sesuai kesepakatan.
2. Para pihak tidak menunjukkan itikad baik dalam proses mediasi tersebut.
Insentif yang diberikan Prakarsa Jakarta bagi pihak yang kooperatif:
1. Dalam perpajakan berdasarkan UU PPh Pasal 31 B yaitu :
Diskon 30% atas pajak terutang untuk transaksi pengampunan utang dan debt to asset swap.
Netral tax untuk transaksi debt to equity sepanjang nilai equity sama dengan nilai utang.
Witholding tax hanya dibayarkan berdasarkan cash payment.
2. Perbankan : Adanya kerjasama dengan BI mengenai BPMK.
3. Pasar Modal : Adanya kerjasama dengan BEJ dan BES untuk perusahaan yang telah terdaftar di pasar modal.
Sanksi yang diberikan oleh Prakarsa Jakarta kepada pihak yang tidak kooperatif adalah ;
1. Pengumuman nama pihak yang tidak kooperatif.
2. Mengajukan kasus tersebut kepada Pengadilan Niaga untuk proses kepailitan.
Data Statistik :
Jenis Kasus Jumlah Kasus Total Utang
(Ekuivalen USD)
Terdaftar 128 USD 30.30 milyar
Aktif 56 USD 14.28 milyar
Restructured 72 USD 16.01 milyar
Catatan :
Yang ditangani oleh Prakarsa Jakarta adalah USD 30.30 milyar dan total utang swasta adalah USD 120 milyar.
M.E.D.I.A.S.I
(Literally and Experiences)
Background kreditor (menurut Arief Surowidjojo) :
1. Kreditor antara USD 5 juta dan USD 10 juta, bahkan USD 100 juta.
2. Kreditor yang sudah tidak tertarik lagi untuk berinvestasi di Indonesia karena berbagai hal, sehingga menjual piutangnya kepada pihak lain.
3. Kreditor yang sudah frustasi karena debitor tidak sanggup lagi melunasi hutang-hutangnya secara maksimal walaupun dipailitkan.
Menurut Arief S, recovery rate di Korea hampir 40%, Thailand 30% dan Indonesia lebih kecil dari itu walaupun dalam undang-undang diharapkan target recovery rate 70% dari total utang.Hal yang membuat recovery rate di Indonesia karena kreditor tidak dapat memprediksi hasil yang diperoleh karena barang jaminan tidak mencukupi. Kasus PT.Astra dimana PT.Astra dapat melunasi hutang dengan restrukturisasi dikarenakan semangat dari PT.Astra dan jaminan dari pemegang saham utama.
Hal yang diharapkan oleh debitur dalam restrukturisasi utang adalah penjadwalan ulang yang jangka waktunya 3 tahun diperpanjang menjadi 5 tahun atau 8 tahun. Sebaliknya dari pihak kreditor, kreditor hanya mau memberikan restrukturisasi selama ada jaminan bahwa debitor dapat membayar lunas utang-utangnya setelah memprediksi resiko usaha dari debitor.
Masalah awal yang dihadapi dalam mediasi :
1. Ada pihak yang menghindar atau segan untuk bertemu dan ada anggapan jika pihak yang bersangkutan meninggal maka utang menjadi lunas.
2. Negosiasi, kedua belah pihak telah melakukan negosiasi dan tidak mencapai kesepakatan sehingga masalah diselesaikan secara litigasi atau arbitrase.
3. Mediasi secara informal sebagai wujud dari kebudayaan Indonesia untuk musyawarah dan mufakat sehingga berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian.
4. Premanisme untuk menyelesaikan sengketa.
Definisi Mediasi adalah suatu proses yang dilakukan oleh mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam bernegosiasi dan berkomunikasi sehingga tercipta kesepakatan baru.
Tugas mediator adalah :
1. Mengusasi keahlian bernegosiasi sehingga dapat menenangkan kedua belah pihak
2. Mengetahui cara berpikir dan keinginan kedua belah pihak.
3. Mediator juga harus pintar berkomunikasi untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi yang harus disampaikan dan mengatur proses komunikasi.
4. Tidak menentukan hasil akhir
5. Tidak mengusulkan dan tidak mengambil keputusan.
6. Netral
Hal-hal yang harus dilakukan dalam proses mediasi adalah :
1. Persiapan : mempelajari laporan-laporan, mewawancarai para pihak, mencari inti permasalahan.
2. Rapat mediasi : menerangkan proses, menyepakati proses, penjelasan para pihak, ringkasan oleh mediator, proses tawar menawar, dokumentasi.
Kekhawatiran umum mengenai mediasi adalah :
1. Apakah berhasil dan berjalan secara singkat ?
2. Apakah hak-hak umum akan hilang dan hak-hak hukum para pihak akan terganggu atau hilang ?
3. Adanya sikap pesimis terhadap mediator dalam menyelesaikan masalah.
4. Apakah mediasi cocok untuk semua kasus.
Atas kekhawatiran diatas, Arief S menjelaskan bahwa proses mediasi berhasil dan dapat berjalan secara singkat tergantung dari itikad baik pihak-pihak yang terkait. Sedangkan untuk hak-hak umum tidak akan hilang karena hasil mediasi tidak akan mengikat secara hukum sebelum ada kesepakatan tertulis dari pihak-pihak yang bersengketa, yang biasa disebut sebagai sans prejudice dalam surat-menyurat lawyer. Dan umumnya para lawyer menyarankan klien untuk tidak ikut program mediasi karena dikhawatirkan akan mengganggu proses kepailitan yang sedang dilaksanakan ataupun mengganggu proses litigasi dan arbitrase
Dan sikap pesimisme terhadap mediator dalam menyelesaikan masalah dikarenakan minimnya pengetahuan dari pihak-pihak yang bersengketa tentang mediasi. Di dunia hukum formal pun jarang di ketahui tentang mediasi. Keterbatasan pengetahuan mengenai mediasi oleh pihak lain yang merupakan proses awal yang dilakukan oleh Prakarsa Jakarta dalam memperkenalkan tugas dan fungsinya.
Umumnya mediasi tidak cocok untuk semua kasus karena berbagai hal, misalnya debitor yang bandel, atau recovery rate terlalu rendah sehingga memilih untuk dipailitkan saja.
Alasan para pihak yang tidak bisa sepakat adalah :
1. Para pihak mempunyai informasi yang berbeda
2. Para pihak menilai fakta dengan cara yang berbeda
3. Para pihak tidak sepakat terhadap waktu penyelesaian
4. Satu pihak ingin mempertahankan ‘status quo’
5. Unsur emosional
Namun timbul juga kekhawatiran umum mengenai litigasi, seperti :
1. Butuh waktu lama
2. Mahal
3. Para advokat berkepentingan memperpanjang proses
4. Hasil tidak pasti
5. Para pihak hilang kendali
6. Hasil tergantung keahlian advokat.
7. Landasan hukum yang digunakan tergantung pada negara tertentu.
Menurut Arief S, beberapa kasus mediasi yang telah masuk Prakarsa Jakarta kemungkinan masuk pengadilan dikarenakan :
1. Kasus yang semula tidak ada mediasi sehingga langsung dibawa ke pengadilan.
2. Kasus dimana sudah terjadi mediasi tetapi tidak tercapai kesepakatan.
3. Mediasi sudah tercapai dan sudah ditandatangani perjanjian baru, namun ada pihak yang default.
Badan mediasi juga telah diterapkan di berbagai negara seperti USA, UK, Philiphina dan Australia. Hal ini dikarenakan pemerintah ingin mengurangi biaya yang dikeluarkan akibat tingginya biaya sidang dan pengadilan akibat kasus yang sama, seperti kontraktor dan pemilik rumah dll.
Bahkan di USA telah berkembang badan mediasi seperti Prakarsa Jakarta seperti :
1. Mini Court yaitu semacam peradilan kecil yang merupakan badan swasta dimana anggotanya adalah orang-orang terhormat dan ahli dibidangnya. Caranya adalah masing-masing pihak memberikan argumentasi dan kemudian pihak ketiga yaitu panel yang memutuskan.
2. Partnering, dimana sejak awal telah dibentuk komite khusus. Partnering biasanya dibentuk untuk proyek-proyek pembangunan suatu infrastruktur, sehingga sejak awal sudah dicoba untuk diidentifikasikan permasalahan yang ada dan coba diselesaikan agar tidak ada masalah sampai proyek tersebut selesai.
Disamping kendala teknis, yang biasa muncul sebagai kendala non teknis adalah factor psikologis dari pihak-pihak yang bersengketa, seperti :
1. Pihak yang bersikeras
2. Pemegang kuasa yang tidak hadir
3. Tuntutan yang tidak realistis
4. Negosiasi yang macet
5. Pihak yang beremosi berlebihan.
Dalam hal ini, menurut Arief S, mediator harus menciptakan suasana agar pihak-pihak yang bersengketa mulai ragu akan tuntutan yang diajukan walapun mediator tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan.
Mengenai dasar hukum dari mediasi, pada umumnya lebih digantungkan pada kontrak atau perjanjian. Hal ini merupakan pilihan baru dalam dunia bisnis di Indonesia, tetapi mediasi adalah pilihan yang lebih baik sebelum kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Sedangkan menurut Sirande P, dasar hukum mediasi adalah pasal 6 UU No.30/1999 Bab 2 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kelemahan dari mediasi adalah hasil kesepakatan dari mediasi tersebut hanya didaftarkan ke pengadilan tanpa ada ketegasan dari fungsi kesepakatan tersebut. Dan menurut Abdul KM, dasar hukum lain dari mediasi adalah pasal 2 UU No.14/1970.
Subscribe to:
Posts (Atom)