Friday, November 30, 2007

Depkeu Tidak Punya Dasar Hukum

Itu adalah judul berita di Kompas tanggal 30 November 2007 halaman 18.
Intisari dari berita tersebut adalah DANA BAGI HASIL (DBH):

Dari dua sisi tersebut didapat data sbb:

1. Menurut sisi Depkeu adalah:
a.) Depkeu mempunyai rencana unuk membayar dana bagi hasil kepada daerah dengan menggunakan surat utang atau obligasi dengan iming2 bond rate 11-12% per 3 bulan.
b.) Langkah yang direncanakan Depkeu merupakan satu dari sembilan langkah pengamanan APBN 2008 untuk memanfaatkan pendapatan yang diterima daerah penghasil migas Rp.13,9 T dengan menempatkan surplus kas daerah itu ke instrumen utang yang bebas resiko, yakni SBN (Surat Berharga Negara).
c.) SBN dibeli langsung oleh daerah untuk mengurangi biaya intermediasi.
d.) Menurut Dirjen Pengelolaan Utang, kebijakan pembayaran DBH dengan menggunakan obligasi pernah dilakukan tahun 2001.
e.) Penjualan obligasi secara terbatas telah sesuai dengan UU No.24/2002 ttg Surat Utang Negara.

2. Menurut Alfitra Salam yang menjabat Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dan Penasihat Asosiasi DPRD Kabupaten Se-Indonesia (Adkasi) adalah:
a.) Depkeu tidak punya dasar hukum untuk hal di poin 1.
b.) Pemerintah Pusat (PP) cemburu kepada Pemerintah Daerah yang selalu menyimpan dananya di SBI.

Apa yang menarik dari perdebatan ttg DBH dari pernyataan2 diatas?

1. Depkeu ingin mengurangi biaya intermediasi.
Dengan menggunakan diagaram, mungkin seperti ini:

saat ini adalah:
PP ---> Pemda ---> BI (SBI) ---> Pemda ---> PP (berbentuk laporan penggunaan dana)

yang ingin dilakukan Depkeu adalah:

PP ---> Pemda ---> PP (berbentuk laporan penggunaan dana).

Jadi fungsi intermediasi dari BI dihilangkan, yang artinya biaya pun juga berkurang. Misal SBI sebesar 9%, pemda mungkin dapat net income dibawah 9% karena ada biaya2 admin yang harus dikeluarkan pemda.

2. Depkeu cemburu dengan pemda yang menaruh di SBI.
Pernyataan dari Alfitra Salam menunjukkan bahwa dia tidak tau fungsi dari SBI sebagai instrumen moneter untuk menjaga jumlah peredaran uang agar dapat menjaga kestabilan rupiah.

Lalu logika saya, jika seseorang ditawarkan bunga yang lebih tinggi plus cost yg semakin berkurang, seharusnya orang itu mau..
Pertanyaannya, kenapa ditolak?? agak aneh bukan..mau diapakan ini uang??

3. Tentu alasan Depkeu memberikan State Bond dengan satu alasan, dimana diketahui bahwa banyak uang pemda yang disimpan di SBI karena pemda tidak mengerjakan apa yg menjadi konsekuensi pemda di APBN.
Dan banyaknya dana pemda di SBI juga membuat puyeng BI karena seharusnya dana tersebut digunakan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat malah hanya dibungakan.

Dan supaya diketahui, dari penghasilan daerah tersebut ada yang merupakan jatah pejabat2 pemda yang diatur dengan UU.
Aneh bukan seorang pejabat pemda mendapatkan success fee untuk sesuatu yg bukan merupakan prestasi.

4. Saya rasa alasan Depkeu adalah melihat perekonomian dari sisi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana kita ketahui ga semua pemda kaya.. Jadi apa salahnya jika daerah yg kaya membantu daerah yg miskin or DBH yang dipegang Depkeu digunakan untuk bantuan2 musibah nasional dll.

5. Keberanian Depkeu untuk memberikan rate yang tinggi paling tidak mempunyai 2 alasan ekstrim, pertama Depkeu gila or kedua Depkeu sudah mulai melakukan perubahan internal sehingga mampu memutar uang lebih dari 12%.
Dengan keadaan yang ada saat ini, saya memilih kemungkinan kedua (bukan karena saya pegawai Depkeu lho;p)

6. Dengan memberikan DBH dalam bentuk State Bond, at least, Negara kita bisa mengurangi utang luar negeri yang kita ketahui nilai mata uang kita stabil turun hehehe.. Jadi Negara kita atas pinjaman tersebut harus membayar pokok, bunga dan kurs mata uang. Dan yg lebih gila, untuk pinjaman tersebut, umumnya selalu ada proyek dari negara yg memberi uang dengan membayar ekspatriat negara tsb dan membeli beberapa persen produksi negara tsb. Yang intinya uang itu dikasih ke Indonesia untuk membayar orang asing dengan menggunakan uang orang asing tersebut dan pemerintah harus membayar plus tetek bengeknya hahahaha..

7. Jika ada alasan bahwa Depkeu tidak mempunyai dasar hukum, maka itulah awal dari kehancuran negara Indonesia. Selalu berkutat dengan peraturan terlebih dahulu padahal perekonomian itu dinamis..
Bukankah filosofi dari sebuah aturan hukum adalah terciptanya perubahan ke arah positif. Lalu apakah kita sebagai manusia harus dibatasi oleh peraturan jika akal budi kita tau mana yg benar dan salah or baik and buruk untuk negara kita walopun peraturan belum dibuat??

Intinya seh, marilah kita melihat NKRI sebagai sebuah kesatuan bukan secara partial per pemda, per suku, per agama, per kecantikan or kegantengan;p dll.
Mari kita bangun NKRI menjadi living better for us and anak cucu kita..

Btw, ini hanya logika bodoh saya.. lebih bodoh lagi orang yg percaya dg tulisan saya..Udah baca panjang2.. di hina pula wakakakakakakakak...

Sunday, September 2, 2007

Believe in God or Not?

Believe in God or Not?


Blaise Pascal put together his thoughts about life and religion while he was at Port Royal and published them under the title Pensèes. In the course of his work on that book, he filled two pieces of paper on both sides with what Ian Hacking describes as “handwriting going in all directions…….full of erasures, corrections and seeming afterthoughts”. This fragment has come to be known as Pascal’s Wager (le pari de Pascal), which asks, God is, or he is not. Which way should we incline? Reason can not answer”.


Here drawing on his work in analyzing the probable outcomes of the game of balla, Pascal frames the question in terms of a game of chance. He postulates a game that ends at an infinite distance in time. At that moment, a coin is tossed. Which way would you bet? Heads (God is) or tails (God is not)?


Hacking asserts that Pascal’s line of analysis to answer this question is the beginning of the theory of decision making. “Decision-Theory”, as Hacking describes it, “is the theory of deciding what to do when it is uncertain what will happen” Making that decision is the essential first step in any effort to manage risk.
Sometimes we make decisions on the basis of past experience, out of experiments we or others have conducted in the course of our lifetime. But we cannot conduct experiments that will prove either the existence or the absence of God. Our only alternative is to explore the future consequences of believing in God or rejecting God. Nor can we avert the issue, for by the mere act of living we are force to play this game.


Pascal explained that belief in God is not a decision. You cannot awaken one morning and declare “Today I think I will decide to believe in God. You believe or you do not believe. The decision, therefore, is whether to choose to act in a manner that will lead to believing in God, like living with pious people and following a life of “holy water and sacraments”. The person who follows these precepts is wagering that God is. The person who cannot be bothered with that kind of thing is wagering that God is not.


The only way to choose between a bet that God exists and a bet that there is no God down that infinite distance of Pascal’s coin-tossing game is to decide whether an outcome in which God exists is preferable more valuable in some sense – than an outcome in which God does not exist, even though the probability may be only 50 – 50. This insight is what conducts Pascal down the path to a decision – a choice in which the value of the outcome and the likelihood that it may occur will differ because the consequences of the two outcomes different.


If God is not, whether you lead your life piously or sinfully is immaterial. But suppose that God is. Then if you bet against the existence of God by refusing to live a life of piety and sacraments you run the risk of eternal damnation; the winner of the bet that God exists has the possibility of salvation. As salvation is clearly preferable to external damnation, the correct decision is to act on the basis that God is. “Which way should we incline?”


Against The Gods by Peter L Bernstein
The Remarkable Story of Risk



Footnotes:
1. Blaise Pascal was born in 1623 and known as one of the best mathematician especially as a Geomaster.


2. In his early teens, he invented and patented a calculating machine to ease the dreary task of adding up his father; M Pascal; daily account as a Tax Farmer. This contraption, with gears and wheels that went forward and backward to add and subtract, was similar to the mechanical calculating machines that served as precursors to today’s electronic calculators. The young Pascal managed to multiply and divide on his machine as well and even started work on a method to extract square roots. Unfortunately for the clerks and bookkeepers of the next 250 years.


3. Interestingly, Pascal asked about God is or not, he was not asked about religion. As we know in 16th century, mostly all Europe is powered by religion leader. The objectivity of his idea is very vivid, he ignored all assumptions about all religion in world, only asked the existence of God.

Renungan di Hari Ulang Tahunku in 2005

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya.
Dalam keheningan malam, aku mengucapkan pujian syukur ku,
Telah diberi aku kesempatan menikmati hidup satu tahun yang berlalu
Kurenungkan perjalanan hidupku,
Kusadari berkat dan anugrah yang kuterima dari Penciptaku.

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya.
Aku mengucap syukur karena aku diberikan orang tua
yang baik dalam hidupku.

Diberkatilah engkau Bapak ku
Diajari aku berpikir, bertindak dan berkata.
Diajari aku agar kuat hatiku dalam segala hal.
Diajari aku tentang harga diri
Diajari aku mengenal leluhur ku.

Diberkatilah engkau Ibu ku.
Dididik aku untuk mengenal perasaan ku
Dididik aku sehingga jiwaku tenang.
Dididiknya aku mengucap syukur atas segala sesuatu karena kebaikan Mu
Dibiarkan aku menangis di pangkuannya ketika jiwaku rapuh.
Dibuatnya aku tertawa ketika kesusahan hinggap di hatiku.

Diberkatilah engkau saudara-saudara ku..
Diberikan aku saudara yang tidak menjadi beban dalam hidup orang tua ku
Diberikan pada ku seluruh kepercayaan dalam diri mereka,
Sehingga aku bisa memimpin mereka dengan baik,
Diberikan aku saudara yang mau berjuang mendapatkan mimpi mereka.

Aku belajar dari kebaikan dan keburukan keluarga ku.
Aku belajar dari kebenaran dan kesalahan keluarga ku
Aku mengucap syukur karena diberi kesempatan untuk
belajar menjadi lebih baik

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya.
Engkau mengijinkan aku meninggalkan rumah orang tua ku
disaat umur ku masih muda.
Engkau ajari aku untuk terbang tinggi bagai rajawali.
Engkau kumpulkan aku bersama jiwa-jiwa muda pilihan Mu

Engkau ajari aku menyimpan air mata ku ketika kesakitan menimpa aku.
Engkau ajari aku menahan semua keluh kesah ku,
Melatihku bersabar dalam penderitaan ku.
Melatih ku tertawa dan bergembira menghadapi segala sesuatu.


Terlebih dari itu,
Engkau membuat ku mempunyai banyak saudara
yang akan selalu bersama dalam susah dan senang.

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya
Engkau ajari aku dalam pekerjaan ku.
Banyak pekerjaan yang telah ku lakukan,
Diajari aku dari semua kesalahan yang ku lakukan.
Diajari aku bekerja keras untuk mendapatkan apa yang ku inginkan.
Diajari aku mengucap syukur atas berkat yang telah diberi.

Diberi aku pengertian ketika aku mengambil keputusan.
Diberi aku kesejahteraan sesuai jalan yang benar.
Diberi aku teman-teman yang membuka wawasan dalam pekerjaan dan pergaulan.

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya
Dalam perjalanan hidup ku, di pegang tangan ku.
Banyak kesalahan yang telah ku buat.
Kesalahan-kesalahan yang membuat ku terkadang
menyesali kebodohan ku.
Kesalahan-kesalahan yang membuat ku sedih ketika aku ber andai.
Kesalahan-kesalahan yang membuat ku ingin memutar
kembali waktu yang berlalu,
Dalam pergaulan ku, dalam pendidikan ku dalam pekerjaan ku.

Terlebih dari itu,
Diajari aku mengurangi ke aku an ku, ego ku, sombong ku dan munafik ku
Diajari aku sehingga hati ku semakin mengenal Pencipta ku
Diberi aku hati yang mau belajar untuk mengerti
kebaikanNya dalam hidup ku
Biarlah aku dalam ke aku an ku semakin lemah agar
tampaklah kekuatan Mu

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya
Dikabulkan permintaan ku ketika aku meminta
Ketika aku minta agar dibeban kan padaku semua
kesalahan keluargaku disaat muda ku
Karena tidak ingin ku lihat duka dan air mata
saudara-saudara ku
Karena tidak ingin ku lihat duka dan air mata
keturunan ku nantinya.

Ketika orang-orang mencibir dan merendahkan ku
sehingga hilang asa ku.
Ketika aku berkeluh kesah berjuang untuk membuktikan
apa yang ku percaya
Ketika ditinggalkan aku oleh orang-orang yang kucintai
karena aib yang melekat pada ku
Diberi aku penghiburan, di kuatkan jiwa ku
Diberi padaku sesuai apa yang kubutuhkan tidak apa
yang ku inginkan
Hanya pada Mu mata ku menatap
Hanya pada Mu kusandarkan hidup

Tidak ditimpakan murka Nya pada ku setimpal dengan dosa-dosa ku.
Karena Dia baik, amat baik dan sangat teramat baik buat jiwa ku
Dia lah benteng keselamatan ku, kubuh pertahan ku perisai yang menahan ku

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya
Tidak ku inginkan kekayaan jika aku harus berlaku tidak adil
Tidak ku inginkan harta benda jika banyak sumpah
serapah menimpaku dan keturunanku
Tidak ku inginkan melihat dan memiliki isi dunia jika
aku harus kehilangan jiwa ku.
Apalah artinya aku miliki yang ku inginkan jika jiwa
ku hilang dalam kesombongan, keangkuhan, menjadi
munafik dan melupakan Mu sebagai sumber berkat dalam hidup ku

Tidak ku inginkan kehancuran musuh-musuh ku suatu hari
nanti, karena pembalasan adalah hak Mu, karena
yang ku inginkan hanya yang baik buat dalam hidup ku
untuk jiwaku sesuai kehendak Mu.

Biarlah hidup ku berkecukupan seperti yang Engkau inginkan.
Karena aku percaya, tidak pernah anak cucu orang benar mengemis.
Karena aku percaya, ketika Engkau membuka pintu, tidak
ada seorang pun yang dapat menutupnya dan ketika
Engkau menutup pintu, tidak ada seorang pun yang dapat membukanya.

Biarlah aku hidup sesuai dengan rencana Mu.
Karena aku percaya, Engkau akan memberikan satu per satu
ketika Engkau tahu bahwa aku telah siap untuk diberi tanggung jawab lebih.
Karena aku percaya, hari – hari yang ku lalui dalam
penderitaan saat ini tidak dapat ku banding kan dengan
tahun-tahun yang kebahagian dalam hidup ku yang telah
Engkau berikan, terlebih dalam masa mendatang.

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya

Jika Engkau berkenan pada pinta ku,
Ijinkan aku menjadi sumber berkat bagi sesama ku,
Ijinkan aku untuk selalu dalam bimbingan Mu,

Karena ku tahu, ketika Engkau menghukum itu karena kesalahan ku.
Karena ku tahu, ketika Engkau mengijinkan pencobaan itu untuk kebaikan ku
Kerena ku tahu, Engkau yang akan memberi kekuatan padaku

Ijinkan aku menceritakan kebaikan Mu dalam hidup ku
kepada anak cucu ku.

Ijinkan aku mengetahui ketika senja ku tiba, ketika
aku mendekati garis akhir pertandingan dalam hidup ku.

Ijinkan aku mengigat sekali lagi perjalan hidup ku
sehingga aku dapat tersenyum dan berkata :
“ Telah ku lalui semua bersama Mu, tidak ada lagi yang
akan ku sesali dan telah di genapi semua yang telah
tertulis dalam hidup ku.”

Ijinkan aku untuk merasa siap dan berkata “Panggil lah
jiwaku kembali ya Tuhan ku, panggil lah jiwaku pulang
ke rumah Bapa ku”

Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya


gtp

Saepe Expertus, Semper Fidelis, Fratres Aeterni

Thanks for being my friends...

Friday, July 20, 2007

Branding

A. Brands and Breakthroughs: How brands help focus creative decision making
(Nicholas Ind & Cameron Watt)

Early literature on creativity focused on personal idea. In recent years, this work has shifted its focus to developing work environments that inspire and facilitate creativity. It is equally important for organizations to choose and develop the right ideas. Analysis of organizations that are successful innovators suggests the answer to successful judgment lies in what can be conceptualized as an organization’s level of situational intelligence. Adopt a brand-led approach that emphasizes elements associated with intellectual capital. Situational intelligence thus represents a duality of organization self-knowledge about brands, core competences, capabilities, culture and stakeholders and the ability to use that knowledge to focus, resource, motivate and effectively form and implement strategies that fit within and reflect these situational constructs. The difficulty here is that when situational intelligence is poor, organizations seem to default to traditional methodologies that reinforce risk-averse behavior or generate stakeholder barrier that alienate employees from each other as well as external stakeholders, such as:
1. Over reliance on traditional customer research dampens creativity because it is essentially backward looking. It makes the assumption that customers have the ability to envision the future, to know what they will desire in future.
2. Reliance in research is that of abstraction. As soon as companies start seeing numbers, they forget people. Companies start to believe that their new product is a guaranteed success because a certain percentage of people have said they would buy it or like products designed. Companies do not unearth depth or richness of customers’ desires, perceptions and expectations.

The process of being observed affects behavior. Observation encourages more conscious awareness and consideration than is actually given to most everyday decision. When new products are challenging, companies undermine people’s stereotypical views of how thins should be. It is certainly the case that stereotypes are often applied unthinkingly when people are presented with something new. However, when there is time, space, and encouragement people can question their stereotypes and become converts to a new way of thinking.

Most of the organizations interviewed for the present study exhibited a more intuitive way of understanding the future rely on a deep seated understanding of themselves and their customers or end users. It can be argued that this helps foster continuous creativity, effective judgment and successful innovation. At its best, organizational creativity creates tension by challenging stakeholders’ preconceptions of what product or service should do. When people engage with the idea, they begin to review the comparative experience to other products. The greater trend toward personalized service in other organizations, the more people have expectation of its possibility everywhere.

The key question of how organizations can recognize, develop and use brands as part of their situational intelligence portfolio are enhance creative decision making and increase significant innovation and value creation. The brand definition frames the context, provides boundaries, set benchmarks, creates clarity and focuses energy. However, if misunderstood or misused it and become a creative millstone that limits potential and holds companies back from achieving innovative breakthrough. The ideas contained within the brand should be credible to employees and reflect current organizational reality, while also containing elements that stretch the organization towards what it desires to become.

The problems in many organizations are that the brand is under-utility. The may steer marketing communications, but it is not fully embedded into creative thinking and innovation by other employees also customers, this is a major problem in most companies. This leads to a gap between the philosophical-sounding brand values and the everyday, critical decisions in a project.

A well understood brand provides a framework in companies that does not hinder transformational innovation but instead generates clarity, vision and focus for staff. It also provides a constructs formed from a deep and empathetic understanding or the brand and its relationship with customers and so facilitates intuitive decision making. The brand also provides the benchmark against which decisions are evaluated and measured. An understanding of the brand ensures clarity of image and enhances customer experience, increases intrinsic motivation for employees, organizational knowledge and stakeholder engagement, all of which help promote trust and facilitate creative behavior.

Understanding stakeholders’ needs and experiences with a brand should be based on a combination of well considered research and the collected experiences of managers. Team members, employees, supply chain partners and customers. Everyone knows that organizations should be listening to customers, competitors and markets, active listening and reflection describe something else. Active listening and reflecting only really occurs when people have an intrinsic interest in and a belief in or passion for the subject. This signifies two important roles for leaders. First they are definers and champions of a vision that inspires staff, secondly they have the responsibility to encourage both internally and externally the positive questioning and debate that facilitates creative action.

Innovative brands attract and employ quality and they nurture and stimulate then to question. Innovation requires confidence coupled with a willingness to be open to new ideas. Arrogance and blinkered thinking lead to creative failure and are the characteristic of mediocrity.

B. An Investigation into Values Dimensions of Branding : Implications for the Charity Sector.
(Helen Stride)

Brand is a complex multidimensional construct whereby managers augment products and services with values and this facilitates the process by which consumers confidently recognize and appreciate these values. The easiest way for consumer to know if a brand’s value reflects their own values is via a brand personality. The brand is imbued with human values and characteristics which of consumer identify e.g. genuine, energetic, rugged etc. The brand personality construct fulfils a range of different symbolic functions for consumers that relate to the need for social approval or personal expression. Anthropomorphizing inanimate objects is universal and is thought to occur so that human beings may make sense of their relationship with the material world. Before looking at the values dimensions of brand in greater detail, and their applicability in the charity context it is important to consider the role that values play in the charity context and explore how branding is currently applied charitable organizations.

It is argued that the maintenance and development of values is important both to the sector and to the wider society. Charities must be explicit about their values and philosophy, which should then become the bedrock of their work. Charities should form an integral part of the mission and vision statements and underpin the marketing operation. For an organization to work towards a specific charitable purpose of benefit to society, it must have a value system that both underpins and indeed drives the charity’s operations.

Branding is being adopted by some charities as a way of differentiating from other organizations. Brand personalities in the charity sector are often confused, resulting in different stakeholders perceiving brands in different ways. A brand that emerges from the organization and therefore reinforces its values also facilitates the building of trust. Trust is considered to be of particular importance in the charity context playing a central role in determining donor behavior by offering assurance that funds are being used appropriately.

The metaphor of mirror is used to demonstrate how the values with which consumers identify or to which they aspire are mirrored back to them via the brand image. Crucial to the success of branding is that the self can also be extended symbolically if an object or branding is perceived to have values, qualities or characteristics to which the consumers aspire. The values to which consumers aspire and which are reflected back to them via the brand image, are a manifestation of irrational needs rather than rational choice. The brand personality construct would appear to have a fundamentally different role to play in charities if it is so help facilitate the process of creating identities as values based organizations.

The metaphor of brand as lamp is used to illustrate how a brand’s own unique values are shone like a light externally and internally in an attempt to influence the values of its target audience and those of the host organizations. As lamp, brands are imbued with distorted individual and social values, the sole aim of which is to influence purchasing behavior. Also brand as a lamp is to approach focuses on employee involvement in brand relationship building. The brand performance is enhanced if instead of the brand reflecting the values of the organization, the values of organization are aligned with those of the brand with staff demonstrating their commitment to the delivery of these values. Whilst the normative nature of charitable activity means that it is not the role of charities to create needs and desires that will result in greater consumption, many have been criticized for using advertising to manipulate audiences by eliciting feelings of anger.

The metaphor of lens brand projects with clarity and precision the values upon which the organization is based. The focus then moves away from brand image that is continually changing to organizations reputations that are more constant. Projecting the non negotiable values that underpin a charity’s mission and that emanate from the organization’s culture that branding is most applicable and effective in the charity context. It is only by developing a brand identity around values that are shared by the organization’s key stakeholders that a charity can claim that its values system underpins its activities and is indeed its very reason for existing. As lens, branding provides a tool whereby charities can benefit from differentiation while also developing their identity as values-led organizations. Having identified its core values, a charity must either seek out supporters and donors whose values reflect its own or aim to create a vision that is so powerful that it inspires people to share both its vision and values.

C. Behind the Brand: is business socially responsible?
(Rebecca Collings)

Another preference to the shifting balance of power between producers and consumers is to describe the rise of CSR as the move from a shareholder to a stakeholder economy. Behind the rise of CSR is a growing body of evidence to suggest that consumer demand for sustainable goods and services is on the increase. If companies really do want to be CSR compliant, how can their business process inform the development of ethical products and services that have a viable level of demand? The response of business is further complicated by consumers’ apparently bipolar attitude to socially and environmentally sound products and services.

A responsible organization does the right thing in the eyes of all of its stakeholders. To know each of its stakeholder groups regards as the right thing involves a dialogue with each of these groups and requires modifying the organization’s behavior accordingly. To track that change in behavior, sector benchmarks and key performance indicators must be established and the organization’s progress towards them continuously measure.


Form table 3, the conclusion can get is CSR initiatives work much better when they are linked to an organization’s core business and the way in which it impacts on stakeholders. Cheque book charity does not create the dividend growth of a response to stakeholder issues that leverages a business market or operational opportunities. Mapping a business’ operational activity to the sustainability agenda at the heart of CSR produces many interesting possibilities. One high strees mortgage lender was promoting CSR activity based on time off for staff to work in the community. Worthwhile, but does not leverage the company’s core business or its ability to influence consumer choices.

The strengths and opportunities offered by a CSR framework are exactly what it takes to sustain and expand a business, but only once the weakness and threats have been identified in order to manage risk and cost.
As consumer glamour for more ethically and socially responsible products and services has increased, so CSR programs in the corporate sector have grown. CSR programs should initially focus on weakness and threats, inefficiencies and risks. After all, if CSR programs do not offer business benefits or at least counter potential risks, they are never likely to get off the ground.

CONCLUSION

The benefit of learning marketing for me at this moment is how strategy in branding which is only a simple word can give big impact in human behavior. More important, strategy marketing in branding can use in social activities like charities organization that helping human being and all living kinds in this world. Recently, new strategy in marketing involves how companies can get consumers by sharing the benefit to the social activities. The misunderstanding in using branding in companies and even charities organization can lead them fail to get their missions. For me, branding is a genius thing in the world, to learning branding not only need experiences but also creativity how to see market, consumers perceptions and companies visions with all the staff.

Some important points about branding are :
1. Adopt a brand-led approach that emphasizes elements associated with intellectual capital.
2. The key question of how organizations can recognize, develop and use brands as part of their situational intelligence portfolio are enhance creative decision making and increase significant innovation and value creation.
3. The ideas contained within the brand should be credible to employees and reflect current organizational reality, while also containing elements that stretch the organization towards what it desires to become.
4. An understanding of the brand ensures clarity of image and enhances customer experience, increases intrinsic motivation for employees, organizational knowledge and stakeholder engagement, all of which help promote trust and facilitate creative behavior.
5. The easiest way for consumer to know if a brand’s value reflects their own values is via a brand personality. The brand is imbued with human values and characteristics which of consumer identify e.g. genuine, energetic, rugged etc. The brand personality construct fulfils a range of different symbolic functions for consumers that relate to the need for social approval or personal expression.
6. The metaphor of mirror is used to demonstrate how the values with which consumers identify or to which they aspire are mirrored back to them via the brand image. The metaphor of brand as lamp is used to illustrate how a brand’s own unique values are shone like a light externally and internally in an attempt to influence the values of its target audience and those of the host organizations. The metaphor of lens brand projects with clarity and precision the values upon which the organization is based.
7. Having identified its core values, a charity must either seek out supporters and donors whose values reflect its own or aim to create a vision that is so powerful that it inspires people to share both its vision and values.
8. To track that change in behavior, sector benchmarks and key performance indicators must be established and the organization’s progress towards them continuously measure.
9. As consumer glamour for more ethically and socially responsible products and services has increased, so CSR programs in the corporate sector have grown. CSR programs should initially focus on weakness and threats, inefficiencies and risks

Leadership, Understanding Machiavelli

A. Is it Better to be Loved of Feared?
(Scott Snook)
At Harvard Business School, Professor Scott Snook uses this classic quote to help students become more effective leaders. Using two of the most successful college basketball coaches in history—coaches with as divergent leadership practices as can be imagined. Asks students to confront their basic assumptions about human nature, motivation, and preferred styles of leading.

Bobby Knight, also known as "The General," is the head coach at Texas Tech University. He's a fiery, in-your-face taskmaster who leads through discipline and intimidation, which some critics say goes too far. Mike Krzyzewski, also known as Coach K, leads the men's basketball program at Duke University. Instead of fear, Krzyzewski relies heavily on positive reinforcement, open and warm communication, and caring support.

The stage is set for student to explore their own fundamental assumptions about leadership and human nature. Are people basically lazy or energetic? What motivates people to do their best? What is the most effective style of leading? Is it better to be loved or feared? Knight or Krzyzewski, whom would you hire?

There two types of human. First, If you believe people are fundamentally good—good meaning that they're trying to do their best, self-motivated, want to perform—then your fundamental leadership style will be one way. It will be empowering them, getting obstacles out of the way, and setting high goals while maintaining standards. Second, If you believe people are fundamentally bad—if you believe people are constantly looking to get over and get by and won't do anything unless they're watched—then you'll tend to lead with a very transactional management style that's built primarily around rewards and punishments. Tight supervision, a controlling type of leadership style characterized by a great deal of social distance between leaders and led.

In a company, some employees work better when structure is imposed on them, Snook observes. "It's the understanding that 'I work better, I will perform better, I'll make more money if somebody gives me a pay-per-perform' " work environment, says Snook, "The ultimate lesson is, what kind of person am I, and then what are the implications of my underlying assumptions for how I lead, and the kind of organizations and the type of situations I'm more effective in? It's not like one's better, one's worse."

Also "There are skills in the workplace that you only get through repetition, drill, habit, and discipline. A lot of times we're not real good at those," Snook continues. "So having an external force, whether it's a leader or a compensation system, forces you to do something you wouldn't ordinarily do, the mundane things that make you a better person, a better leader, or a better basketball player.
There are three ovals. First oval is who you are. Middle oval is how you lead. The third oval is the situation. Leaders who can recognize and call upon all three areas can expand their range of management styles to meet the needs of the situation, Snook says. "That could be an individual subordinate who needs more structure, or less structure, or more love, more challenge, or more support. Increasing your ability to accurately read relevant situational demands, understand more clearly your own assumptions about human nature, and then appropriately adapt 'how you lead,' your style, is a life-long process."

For hiring managers, one lesson is to understand the dominant type of motivation supported by your corporate culture and hire people who thrive in those situation,
There is another interesting intersection of the dramatis personae in this tale of two coaches. In the late 1960s, Coach Knight was the basketball coach at the U.S. Military Academy at West Point, where he recruited a young player named Mike Krzyzewski. "Coach K was a young, scrappy kid. He wasn't the best athlete on the team, but he had a lot of leadership potential," Snook says. After Krzyzewski left the Army, he joined Knight as a graduate assistant at Indiana, and the older coach became his mentor."They've been great friends, how could these two people who are so different in their approach to the same game be in each other's corner the whole time?"


B. Niccolo Machiavelli and The Twentieth Century Administrator
(Rihard P Calhoon)
Machiavelli would applaud the widespread application of leadership in today’s organizations and the sophisticated refinements added a consequence of changing culture and increased knowledge. His insightful observations have continued to living for five hundred years is a testimonial to two facts: 1. Tactics that are sound, based on a realistic knowledge of behavior and 2. Ploys that are natural courses of action, undertaken by leader of any period to acquire power, resist aggression and control subordinates. The full extent and ubiquity of Machiavelli’s concepts relevant to present day organizational administrators have largely escaped notice. Emphasis on good practices and principles of management on the one hand have tended obscure the action of leaders that are unsavory but effective. On the other hand, the prevailing connotation of Machiavellian as a conniving, manipulative, cold-blocked means for arriving at selfish ends has completely overshadowed the need for and validity of his concepts. Journals, articles and books on management area are in increasing number, referring strategies used in leadership to pressure tactics and to other aspects of Machiavellianism as a matter of fact.

While in exile, he completed his most famous and infamous book, The Prince. Machiavelli called his book The Prince and not something like The Art of Government because he saw success and failure for states as stemming directly from the qualities of the leader.

The reasons for the continuing vitality of all these contributions and especially of his insights into leadership can be seen more clearly in the following:
1. His scientific point of view.
2. The laboratory in which he made his analyses was unique in history.
3. The period of exile provided time for reflection, for building on his considerable experience and knowledge.
4. Machiavelli’s observational method of studying leadership enabled him to cover a range of leadership actions of amazing breadth.
5. Historical analogy the principal method used by Machiavelli to prove his concepts of leadership is a valuable tool for analysis when properly used.

What concepts had written by Machiavelli in past similar with what happen at present. A corporation is not something different from a state with some interesting similarities; it is a state with few unimportant differences. The point is the corporations and states both have leaders and although culture, society, circumstances and organizational structure modify behavior, interactions and tactics have marked similarities within the leadership task regardless of the specific setting, but there is little alteration in the basics of human behavior despite social culture shifts.

The problems of motivating people existed in Machiavelli’s era and they are present, today’s employees however are much more sophisticated than was the populace in Machiavelli’s time education. Both the tasks and the interaction of people within organizations at various levels presented much the same dilemmas. The difference between administrative behavior in Machiavelli’s time and today is largely one of degree in rules of the game. But feelings needs for power and actions to control the behavior of others follow remarkably similar paths, as detailed examination of Machiavelli’s writings relative to current leadership actions will reveal.

A number of forces are responsible for Machiavellian actions on the part of leaders today:

1. Ambition – consequent impatience
2. Organizational Constraints – on actions or incentives
3. The Failure of Less Directive Methods – setting examples or giving cues
4. Operational – feasibility as observed and as a consequence of trial and error.
5. Ignorance – aggressiveness, etc; the only ways to known to obtain results.
6. Personality of the Individual

For some examples of the many more prevalent Machiavellianism that are justified or necessary for the good of the organization or for protecting oneself in the face of resistive, low motivated or unprincipled personnel using deviousness when power is limited and some action is required, inducing a non delegating superior to expand one’s duties, activating the man who is secure in his job, who knows that he is and who will not do what he should, counteracting the moves of someone who is out to get one’s job, to make one look bad or to make himself look good in comparison with one. At this point there are some thoughts about Machiavellianism today to provide balance. Awareness aggressive sort of leadership can be helpful if the net result is increased understanding of administrative behavior without provoking an inordinate amount of paranoia.





CONCLUSION
One interesting point when learn about leadership in Organization Management is about leadership. A leader of an organization is like a composer who will make or bring the organization to achieve the organization’s vision and mission. Until now, one of the topic that never stopping is debating about Machiavelli’s leadership.

Even Professor Snook at Harvard Business School uses Machiavelli’s leadership theory to understanding about human nature, motivation and preferred styles of leading.
After learning the journal about Niccolo Machiavelli, it’s describe about the brilliant things about how Machiavelli observed something real in reality about human styles of leadership. The point that Machiavelli describes is the leader dilemmas when face two different things which are organization vision with human nature, which one will be chosen.

Prof Snook implicitly said, when a leader knows about human nature, sometimes the leader can use something hard to push the staffs. As example, in modern world, Machiavelli’s theory is using in stick and carrot theory.

A leader must understand his/her own, the situation and the people who is lead, that means the type of leadership must adapt in the situation without sacrifice organization’s purposes.

The good thing learning about Machiavelli is he described all the bad things about human nature, ignored about kindness, religiousness and ethics. It is not about the styles of Machiavelli leadership. He described, in reality there a lot of people trying get his/her own goal by hook or by crook.

Understanding the Machiavelli’s theory will give a leader how to manage staff that has his/her own goal that different with organization’s purposes. That theory also described how to change bad habits in human nature as stated about ambition, organizational constraints, operationally, ignorance, personality of the individual.

Sunday, July 8, 2007

LAPORAN PENILAIAN USAHA

(Kerangka Acuan)

A. Latar Belakang

Pelaporan adalah bagian dari proses penilaian karena dalam laporan dijelaskan semua hal yang berkaitan dengan penugasan dan hasil yang diperoleh. Dan laporan ini bisa menjadi faktor penting dalam mengambil keputusan bagi pihak yang memberi penugasan ataupun pihak lainnya yang terkait.

Penyusunan laporan adalah proses terakhir dari seluruh proses penilaian. Dan umumnya proses pembuatan pelaporan akan membutuhkan waktu yang sama dengan proses penugasan dilapangan dikarenakan banyaknya pertimbangan yang harus diputuskan sebelum laporan diterbitkan.

Sampai dengan saat ini belum ada pelaporan yang bisa diajukan sebagai kerangka dasar dalam menentukan format laporan penilaian usaha. Oleh karena itu saat ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara berusaha membentuk format dari pelaporan penilaian usaha yang dapat menjadi format baku dalam penilaian usaha di Indonesia.

Arti Kosa Kata Laporan/Report dari Kamus Bahasa Inggris
[report (plural reports)
1. A piece of information describing, or an account of certain events given or presented to someone.
A report by the telecommunications ministry showed that the phone network has a severe capacity problem.
2. (ballistics) The loud echo sound from a gun.
o 1883: Robert Louis Stevenson, Treasure Island
...a pistol-shot, flash and report, came from the hedge-side.
to report (third-person singular simple present reports, present participle reporting, simple past reported, past participle reported)
 (intransitive) (news) To relate details of an event or incident.
This was our correspondent reporting from Baghdad, Iraq.
 (intransitive) (military) To show up or appear at an appointed time; to present oneself.
 (transitive): To notify of.
The nuclear plant reported the incident to the authorities.
Riots have been reported from a remote province of the country.
 To be accountable.
The financial director reports to the CEO


B. Laporan Penilaian

Laporan penilaian (valuation report) adalah sebuah bentuk pelaporan baik secara lisan maupun tertulis dari nilai dan atau penilaian yang telah dilaksanakan oleh penilai kepada pihak yang memberi tugas (klien). Pelaporan ini biasanya dilakukan oleh penilai maupun kantor penilai kepada pemberi tugas sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas yang diberikannya.

Tujuan dari laporan penilaian ini adalah untuk menyampaikan data, logika, asumsi yang melandasi dan analisa yang mendukung pernyataan nilai kepada pihak yang memberi tugas penilaian. Laporan Penilaian yang dibuat oleh seorang penilai usaha (business appraiser) harus dilengkapi dengan pernyataan (sertifikasi) penilai dan batasan/istilah yang dicakup dalam penilaian yang meliputi cakupan penilaian, kondisi yang membatasi, definisi nilai, tujuan penilaian dan tanggal penilaian. Dan agar pembaca atau pemberi tugas (klien) memahami masalah penilaian dari obyek yang dinilai melalui alasan dan diskriptif data yang relevan untuk mendukung suatu opini/kesimpulan nilai.

Laporan penilaian juga dapat berfungsi antara lain sebagai berikut:
a. Menyampaikan kesimpulan Penilai tentang Nilai kepada klien dan atau kepada orang lain yang mungkin berkepentingan dengan hasil penilaian.
b. Sebagai catatan lengkap dan terperinci dari nilai suatu usaha dipandang dari berbagai sudut kegunaan dan kepentingan sesuai dengan keadaan dan situasi yang berlaku.
c. Melindungi usaha dari berbagai kemungkinan yang dapat merugikan pemilik (owner) dari kejadian yang tidak disangka-sangka.

d. Sebagai bahan pengambilan keputusan bagi manajemen dalam rangka pengembangan usaha dan bisnisnya serta meningkatkan kredibilitas dari lembaga-lembaga keuangan maupun masyarakat.

Bentuk dan format laporan penilaian memang seringkali bervariasi. Format laporan penilaian untuk perusahaan penilaian swasta dan untuk instansi pemerintah biasanya berbeda meskipun kandungan isinya sama. Namun secara umum, memberi standar bahwa laporan penilaian setidaknya harus mencakup beberapa hal sebagai berikut :

 Identifikasi dan diskripsi mengenai objek yang dinilai. Kegiatan pengidentifikasian ini meliputi pengidentifikasian fisik terhadap lokasi perusahaan, kegiatan, legalitas dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai suatu obyek.
 Mengidentifikasi opini yang menjadi tujuan penilaian dan sekaligus kegunaan penilaian itu sendiri. Jenis nilai, tujuan penilaian dan kegunaan penilaian ini sangat terkait erat dan merupakan hal yang sangat penting untuk ditentukan dan diketahui sebelum proses penilaian tersebut dilaksanakan.
 Menetapkan tanggal penilaian (date of valuation), tanggal inspeksi lapangan dan tanggal pelaporan. Karena nilai properti dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan dinamika di lapangan, maka tidak ada satu nilai tunggal yang dapat digunakan untuk keperluan sepanjang waktu tanpa ditetapkan tanggal penilaiannya. Tanggal penilaian tersebut menunjukkan bahwa nilai yang dihasilkan adalah nilai tertentu pada suatu tanggal penilaian tertentu pula, dan hal ini penting untuk membatasi tanggung jawab penilai.
 Menentukan kegunaan tertinggi dan terbaik (highest & best use) dari saham yang dinilai (jika dianggap perlu). Dalam tujuan penilaian tertentu analisis kegunaan tertinggi dan terbaik ini seringkali dianggap perlu, terutama pada saat melakukan penilaian untuk menentukan nilai potensi suatu perusahaan, studi kelayakan, dan sebagainya. Secara garis besar analisis kegunaan tertinggi dan terbaik ini meliputi suatu kajian untuk kelayakan legalitas dan kelayakan finansial untuk menghasilkan keuntungan yang paling maksimal.
 Menerangkan prosedur penilaian yang digunakan. Karena tujuan dari pembuatan laporan adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca/klien yang pada umumnya bukan seorang penilai, maka dalam pelaporan penilaian perlu diuraikan mengenai prosedur penilaian yang digunakan. Jadi setiap pendekatan penilaian yang dipakai secara garis besar harus diuraikan sehingga pembaca mempunyai gambaran mengenai proses bagaimana kesimpulan nilai tersebut dibuat.
 Menyediakan/menampilkan data pendukung dan alasan-alasan yang mendukung analisis, opini dan kesimpulan nilai dalam laporan. Ketersediaan data pendukung merupakan hal pokok yang perlu ada untuk mendukung analisis dalam menghasilkan suatu kesimpulan nilai.
 Hampir semua pendekatan penilaian (valuation approachs) pasti memerlukan dan mendasarkan pada informasi dari properti pembanding dan juga data-data pendukung lain, baik data instansional maupun non instansional yang dapat memperkuat opini dan pengambilan kesimpulan nilai. Semua data pembanding dan data pendukung ini harus dimuat di dalam laporan penilaian sebagai bukti yang memperkuat kesimpulan nilai.
 Menerangkan semua asumsi dan batasan (limiting condition) yang mempengaruhi analisis, opini dan kesimpulan nilai. Penilai dalam memberikan opini nilainya tidaklah mutlak benar dan bisa berlaku sepanjang masa serta dapat digunakan untuk berbagai jenis kepentingan. Untuk membatasi tanggung jawab penilai, maka perlu dibauat bagian khusus yang menerangkan sebatas mana penilai bertanggung jawab atas opini nilai yang diberikannya. Dalam asumsi dan batasan ini penilai menyatakan batas tanggung jawabnya, sehingga bila ada suatu kasus tertentu yang melibatkan suatu perkara hukum di pengadilan, maka tanggungjawab penilai hanyalah sebatas apa yang diuraikan dalam asumsi dan batasan (limiting condition) yang dinyatakan dalam laporan penilaian.

Laporan penilaian dapat disajikan dalam bentuk:
1. Laporan Lisan;
Laporan Lisan (Oral Report) adalah laporan lisan dari penilai. Laporan ini diperlukan jika keadaannya mendesak atau klien tidak memerlukan pelaporan secara tertulis. Namun bentuk laporan penilaian lisan dalam praktek saat ini jarang sekali dilakukan.

Laporan penilaian walau disajikan secara lisan, namun tetap harus disajikan secara akurat. Adapun hal yang paling minimal harus dilaporkan adalah:

• Pendahuluan
Dalam pendahuluan disajikan mengenai identifikasi klien, obyek yang dinilai, maksud dan tujuan penilaian, definisi standar nilai, tanggal efektif penilaian.

• Asumsi dan Syarat Pembatas
Dalam asumsi dan syarat pembatas diuraikan mengenai asumsi yang dipakai dalam melakukan analisa penilaian dan syarat apa saja yang membatasi.

• Pernyataan Independensi
Dalam pernyataan ini diuraikan bahwa Penilai dalam melakukan penilaian tidak memiliki kepentingan apapun atas obyek penilaian dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

• Kesimpulan Penilaian
Dalam kesimpulan penilaian dsajikan berapa nilai yang dihasilkan pada suatu tanggal tertentu berdasarkan penugasan yang diberikan.


2. Laporan tertulis;
• Laporan dalam bentuk surat;
• Laporan lengkap tertulis.

2.1 Laporan dalam bentuk Surat (Pernyataan Penilai)

Laporan penilaian dalam bentuk surat (Letter Report) adalah laporan penilaian yang berbentuk surat dan berisikan hasil investigasi dan analisis yang disimpulkan dalam sebuah surat. Estimasi nilai disampaikan melalui suatu surat yang disahkan dengan tanda tangan penilai. Surat ini biasanya hanya berisi opini nilai dari properti, tanpa disertai dukungan data, informasi dan analisis.

Laporan semacam ini biasanya disiapkan atas permintaan pelanggan (klien), namun setidaknya laporan berbentuk surat ini berisikan tentang:
1. Kontrak Kerja
2. Maksud dan tujuan dilakukan penilaian
Pernyataan mengenai tujuan penilaian. Tujuan penilaian dalam hal ini harus scara jelas dinyatakan, karena terkait dengan jenis nilai yang dihasilkan. Seperti contoh jika tujuan penilaian adalah untuk jual-beli, maka jenis nilai yang dihasilkan adalah nilai pasar wajar (fair market value).
3. Ruang lingkup penilaian
4. Sumber data
Sumber data yang digunakan oleh penilai harus diungkapkan secara garis besar. Nama-nama dan jenis data yang digunakan. Tidak perlu seluruh lampiran data diungkapkan.
5. Jangka waktu penilaian
6. Diskripsi mengenai bentuk analisis yang dipakai. Meskipun tidak secara detail diuraikan, deskripsi mengenai bentuk analisis yang dipakai adalah perlu dikemukakan, setidaknya dikemukakan mengenai pendekatan penilaian yang digunakan untuk menganalisis nilai.
7. Tanggal penilaian, tanggal pelaporan dan semua batasan-batasan masalah (limiting condition).
Tanggal penilaian dalam hal ini adalah terkait dengan tanggal dimana nilai tersebut ditetapkan, sedangkan tanggal pelaporan adalah lebih menunjukkan pada tanggal aktual dibuatnya laporan tersebut. Mengenai batasan masalah, meskipun singkat juga perlu dinyatakan dalam laporan penilaian berbentuk surat ini karena hal ini penting untuk menunjukkan tanggung jawab dan wewenang penilai atas opini nilai yang dihasilkannya.
8. Sertifikasi nilai/pernyataan tentang kesimpulan nilai. Sertifikasi nilai ini merupakan bagian terpenting dari surat. Dalam hal ini penilai perlu menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis yang seksama dengan memperhatikan semua data dan berdasarkan pada pengalaman, maka penilai memberikan opini besarnya nilai properti yang dianalisis.

9. Kesimpulan nilai;
Laporan penilaian dalam bentuk surat, kerapkali digunakan untuk melaporkan hasil penilaian yang bersifat harus diungkapkan dengan segera dalam kondisi tertentu. Setelah laporan dalam bentuk surat disampaikan, dalam jangka waktu singkat laporan tertulis lengkap harus disampaikan.

2.2 Laporan Tertulis

Dalam laporan lengkap tertulis, disajikan secara terperinci hal-hal berikut :

a. Surat Pernyataan Penilai (Sertifikasi)

Surat Pernyataan Penilai adalah surat yang ditujukan kepada semua pihak terkait mengenai hal-hal dasar yang berhubungan dengan penugasan yang dilakukan oleh Tim Penilai. Dengan surat ini diharapkan semua pihak dapat mengetahui beberapa hal prinsip yang menjadi landasan hukum bagi Tim Penilai dalam melakukan penugasan dan saat telah berakhirnya penugasan.

Surat Pernyataan Penilai berfungsi sebagai :
 Dasar hukum dilakukan penilaian;
 Identifikasi Tim Penilai;
 Ruang lingkup penilaian;
 Asumsi dan syarat-syarat pembatasan penugasan penilaian;
• Diasumsikan bahwa penilai tidak memiliki kepentingan apapun terhadap obyek penilaian;
• Data yang digunakan : Penilai bergantung pada data dan akses pada sumber data yang tersedia;
• Validitas penilaian : Hasil penilaian hanya berlaku pada tanggal penilaian dan untuk tujuan penilaian.

 Kesimpulan Nilai
 Tanggal dilakukan penilaian;
 Tanda tangan.

b. Daftar ISI

1. Surat Pengantar
Sering juga disebut sebagai Letter of Transmital merupakan surat yang dibuat oleh penilai kepada pelanggan (klien) yang menyatakan bahwa penilai telah melakukan penilaian atas obyek yang ditunjuk pada tanggal tertentu dan untuk tujuan tertentu serta pernyataan/opini nilai atas obyek yang dinilai. Surat pengantar ini berisikan antara lain :

 tanggal surat dan pihak yang memberi tugas.
Dalam surat pengantar ini harus disebutkan dasar dari pemberian tugas untuk melaksanakan penilaian, yaitu dari pihak mana dan bersasarkan surat nomor dan tanggal berapa.
 pernyataan identifikasi kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam properti yang dinilai, yaitu terkait dengan jenis hak dan batasan-batasan apa saja yang dinyatakan ke atas hak yang dimiliki.
 pernyataan mengenai telah dilaksanakannya penugasan penilaian. Hal ini penting sebagai pernyataan tanggungjawab penilai terhadap tugas yang diberikan klien kepadanya.
 tanggal penilaian efektif, yaitu tanggal di mana nilai tersebut ditetapkan dan biasanya tanggal penilaian disesuaikan dengan tujuan penilaiannya.
 estimasi nilai, yaitu pernyataan mengenai besarnya nilai usaha yang diestimasi.
 batasan masalah, menyatakan batasan wewenang dan tanggungjawab yang ditanggung penilai.
 tanda tangan penilai.

2. Surat Pernyataan Penilai (Sertifikasi)
Yaitu sertifikasi nilai yang disertai dengan pernyataan nilai akhir, tanda tangan penilai, tanggal dan cap/stempel dengan uraian/pernyataan

3. Bab I : Ringkasan Eksekutif
Rangkuman ini diperlukan bila laporan terlalu panjang dan terdiri dari beberapa obyek. Mengawali laporan penilaian, penilai juga harus menyatakan siapa pemberi tugas, untuk siapa laporan tersebut dibuat dan menyatakan bahwa properti telah dilakukan pemeriksaan/inspeksi. Penilai dalam hal ini juga dapat menegaskan batasan-batasan penggunaan laporan penilaian tersebut dan tanggungjawab penilai hanya terbatas pada tujuan sebagaimana dinyatakan dalam laporan, kecuali klien telah meminta ijin terlebih dahulu kepada penilai.

Ringkasan eksekutif adalah uraian singkat yang meliputi :
• Latar belakang berdirinya perusahaan;
• Latar belakang diperlukannya penilai untuk tujuan tertentu dari perusahaan;
• Dasar dari Penilai dalam melakukan penilaian. Dasar yang digunakan dalam melakukan penilaian khususnya di Indonesia adalah Standar Penilaian Indonesia Tahun 2002, KEPI dan standar internasional lainnya yang relevan terhadap penilaian yang dilakukan;
• Independensi dari Penilai;
• Definisi dan istilah yang digunakan oleh Penilai.
Umumnya definisi dan istilah yang digunakan adalah yang berlaku umum dalam profesi penilai.


4. Bab II : Syarat-syarat dan Kondisi Pembatas
Asumsi dan kondisi pembatas ini dinyatakan dalam laporan adalah bertujuan untuk melindungi penilai terhadap kemungkinan penyalahgunaan hasil penilaian yang telah dilakukan. Asumsi dan kondisi pembatas yang sering dimasukkan dalam laporan penilaian antara lain adalah asumsi “pasar wajar”opini yang berbeda, dasar yang dipakai dalam menentukan nilai saham, tanggal dan tujuan yang spesifik dilakukannya penilain serta batas tanggungjawab penilai.

Syarat-syarat dan kondisi pembatas adalah ruang lingkup yang digunakan oleh penilai dalam melaksanakan kegiatan. Syarat-syarat dan kondisi pembatas sangat diperlukan agar tujuan dan maksud penugasan dapat terlaksana dengan baik. Dan juga dapat mengurangi bias penilai dalam melaksanakan kegiatan.


Syarat-syarat dasar yang dibutuhkan seorang penilai adalah :
1. Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh KAP selama 3 tahun;
2. Laporan Internal yang dikeluarkan oleh internal audit yang telah disahkan oleh manajemen;
3. Data-data primer dan sekunder perusahaan;
4. Data-data lain yang telah dipublikasikan dan diyakini keakuratannya;
5. Bila data yang diberikan oleh perusahaan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya maka hal tersebut diluar tanggung jawab penilai;
6. Jika ada beberapa jenis mata uang yang digunakan maka penilaian harus menggunakan mata uang rupiah (idr) dengan melakukan konversi atas mata uang asing pada tanggal tertentu oleh lembaga pemeringkat independen;
7. Sejarah/riwayat pertumbuhan perusahaan;
8. Produk/jasa yang dihasilkan;
9. Pasar dan pemasaran;
10. Manajemen;
11. Aktiva baik yang berwujud maupun tidak berwujud;
12. Tinjauan umum tentang makro ekonomi, industri dan perusahaan yang bersangkutan;
13. Transaksi kepemilikan usaha dari obyek penilaian yang pernah terjadi sebelumnya.
14. Sensitivitas terhadap faktor pengaruh musim atau siklus usaha;
15. Persaingan;
16. Sumber data yang digunakan.

Kondisi pembatas umumnya terbagi menjadi 2 kategori :

 Yang diakibatkan oleh pihak manajemen
Pembatasan yang dilakukan oleh pihak manajemen bisa terjadi karena adanya penafsiran yang berbeda mengenai suatu hal ataupun kesengajaan dari pihak manajemen untuk tidak memberikan informasi sesuai kondisi yang sebenarnya.

 Yang disebabkan oleh keadaan diluar kekuasaan kedua belah pihak.
Pembatasan akibat oleh keadaan diluar kekuasaan kedua pihak dapat lebih diterima apabila ada informasi yang detail.
Pengaruh atas ruang lingkup dapat memberikan kesimpulan hasil penilaian yang berbeda. Oleh karena itu bila pembatasan ruang lingkup penilaian harus diungkapkan dalam laporan penilai independen.

5. Bab III : Uraian mengenai Perusahaan
a. Informasi mengenai perusahaan dan legalitas perusahaan.
Pada umumnya yang patut menjadi perhatian dari penilai adalah kegiatan utama dari perusahaan, lokasi perusahaan dan ijin dari pihak terkait atas usaha yang sedang berjalan;
b. Pengurus dan pemegang saham;
Perubahan anggaran dasar mengenai pemegang saham harus diketahui oleh penilai dan komposisi pemegang saham sehingga penilai mempunyai data awal untuk menentukan diskon atau premi sesuai kepentingan penilaian.
c. Organisasi dan manajemen perusahaan;
d. Kondisi operasional perusahaan dan usaha yang sedang berjalan;
e. Analisa keuangan perusahaan;
f. Resiko usaha.

6. Bab IV : Uraian mengenai Industri
 Kondisi dan Analisis Industri;
 Prospek Industri;
 Analisa SWOT

7. Bab V : Metodologi dan Asumsi Penilaian
Dalam bagian ini penilai menguraikan secara ringkas semua metode penilaian yang digunakan, baik secara pendekatan aktiva, pendekatan pendapatan (income approach) maupun pendekatan perbandingan data pasar (market data approach) yang seusai dengan tujuan penilaian tersebut dilakukan. Selain menguraikan mengenai metode penilaian yang digunakan adalah cukup penting juga untuk menyatakan bangaimana proses dan hasil penilaian yang dihasilkan serta rekonsiliasi nilai dari metode-metode penilaian yang dipakai.

 Pendekatan dalam penilaian;
 Pemilihan metodologi;
 Premi Kendali dan Diskon Minoritas;
 Asumsi Penilaian (kondisi as is);
 Asumsi Penilaian (kondisi value enhancement).

8. Bab VI : Perhitungan Penilaian
 Menjelaskan metode yang digunakan
 Apabila perusahaan dalam keadaan going concern, maka harus dihitung berdasarkan kondisi value enhancement.
 Diberikan penjelasan identitas pembanding atas objek penilaian.
 Melakukan diskon dan premi dengan perhitungan yang jelas.
 Melakukan rekonsiliasi nilai.

9. Bab VII: Kesimpulan dan Saran

• Penilai memberikan kesimpulan hasil penilaian berdasarkan saat dan waktu tertentu yang dimintakan.
• Penilai juga memberikan beberapa nilai berdasarkan saat dan waktu tertentu berdasarkan metode yang digunakan dalam menilai kondisi perusahaan.
• Jika penilai mempunyai pendapat tambahan atas asumsi yang terjadi pada saat ini yang dapat memberikan pengaruh terhadap hasil penilaian, maka Penilai pun harus memberikan saran.

Dari berbagai indikasi nilai yang dihasilkan dari tiap metode yang dipakai serta setelah melakukan rekonsiliasi nilai, maka selanjutnya dalam bagian ini penilai menyampaikan keputusan tentang opini nilai yang dihasilkannya. Kesimpulan nilai properti ini harus disertai tandatangan asli dari penilai dan sebaiknya antara halaman kesimpulan nilai dan tanda tangan penilai tidak terdapat pada halaman yang terpisah, yaitu untuk tujuan keamanan dan guna menghindari adanya pemalsuan.

10. Tabel dan Gambar
Dalam Laporan Hasil Penilaian diperlukan beberapa tabel yang akan dipakai oleh pengguna untuk mengetahui data yang digunakan oleh Penilai sebagai bahan melakukan analisa.

Tabel-tabel ini harus disusun dengan rapi dari sesuatu yang bersifat umum sampai dengan khusus sesuai urutan uraian dalam laporan. Pada umumnya, table yang dilampirkan adalah :

• Komposisi Pemegang Saham
• Pertumbungan industri
• Neraca
• Laba Rugi
• Laba di Tahan
• Rasio Keuangan
• Nama perusahaan pembanding
• Posisi objek terhadap industri sejenis
• Perhitungan rekonsiliasi
• Review kepatuhan terhadap industri sejenis
• Matriks SWOT

11. Lampiran


Surat Pernyataan Penilai
xxxx
1. Penilai Publik Terdaftar
Alamat

12. Tanggal

13. Judul Laporan Laporan Penilaian Saham PT xxxx

14. Ditujukan

15. Paragraf Pendahuluan
(pernyataan dasar hukum, tujuan dan data aktual)

Berdasarkan Kontrak Kerja No … tanggal … tentang … antara … dan … , kami telah melakukan penilaian atas saham PT xxx per tanggal …. atas permintaan PT xxx atau PT yyy atau dll. Data yang kami gunakan dalam melakukan penilaian adalah Lap Keu PT xxx yang telah diaudit KAP selama 3 terakhir dan Lap Internal PT xxx yang dikeluarkan oleh Komite Internal Audit dan disahkan oleh Komisaris PT xxx (untuk perusahaan terbuka) serta data-data lainnya yang terkait dalam melakukan penilaian baik yang dikeluarkan oleh PT xxx maupun yang telah dipublikasikan oleh pihak lain yang dapat dipercaya keakuratan informasi yang diberikan.


16. Paragraf Ruang Lingkup
(pernyataan batasan dan kondisi penilai)

Kami telah melakukan penilaian sesuai dengan Standar Penilai Indonesia Tahun xxx dan Kode Etik Penilai Indonesia atas saham PT xxx sebagai suatu usaha yang xxx (going concern atau pailit atau lainnya). yang merupakan perusahan xxx (terbuka atau tertutup). Kami melakukan peninjauan lapangan pada tanggal xxx s.d xxx dan mengadakan wawancara dengan manajemen dan pihak lain yang terkait dan relevan dalam melakukan penilaian untuk mendapatkan informasi yang memadai mengenai obyek penilaian. Data yang kami berupa data primer dan sekunder serta data khusus dan spesifik baik dari pihak manajemen maupun pihak lain yang telah dipublikasikan dan telah diyakini secara umum keakuratannya. Bila ternyata data-data yang kami peroleh tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya, maka hal tersebut diluar tanggung jawab kami.


17. Paragraf Metodologi dan Informasi Analisa
(pernyataan teknik penilaian atas tujuan dan)

Penilaian atas PT xxx bertujuan untuk menentukan Nilai Pasar dari saham PT xxx dengan memperhatikan semua data yang kami peroleh untuk mengambil kesimpulan mengenai nilai saham PT xxx. Pendekatan dan metodologi penilaian yang kami lakukan adalah pendekatan dan metodologi sesuai dengan asumsi awal terhadap pt xxx pada saat kondisi dan keadaan penilaian dilakukan. Kami melakukan aplikasi discount for lack of marketability sebesar xxx % atau premi of marketability sebesar xxx %


18. Paragraf Pendapat
(kesimpulan)

Berdasarkan analisa kami, kami berkesimpulan bahwa nilai pasar wajar atas saham PT xxx adalah sebagai berikut :

Tanggal Kondisi Nilai Pasar Wajar

as is

value enhancement

khusus


19. Nama Penilai

20. Tanda Tangan Penilai
(beserta nomor ijin registrasi pemerintah)

21. Tanggal Laporan Penilaian
(tanggal berakhirnya penilaian lapangan)


Bagian Laporan Penilaian


1. KOP Surat
Dalam kop surat ini dijelaskan identitas penilai beserta alamat dan dasar hukum yang memberikan informasi mengenai legalitas untuk melakukan penilaian. Pada umumya dalam dunia profesi, nama kantor tersebut akan bertanggung jawab secara hukum dan jabatan atas kualitas seorang Penilai berdasarkan standar profesi dan kode etik profesi.

2. Tanggal
Tanggal adalah menyatakan bahwa saat dan waktu tertentu,laporan penilaian telah secara sah diterbitkan oleh Penilai kepada pemberi penugasan agar memudahkan pengarsipan pada saat tertentu.

3. Judul
Dalam judul diungkapkan tujuan penilaian. Dalam banyak kasus penilaian bukan hanya ditujukan pada penilaian saham PT xxx dalam kondisi normal, kemungkinan juga ketika dalam keadaan pailit ataupun going concern PT xxx diragukan. Sehingga ketika membaca judul Laporan Penilaian, setiap pembaca sudah dapat memprediksikan keadaan yang sebenarnya terjadi.

4. Ditujukan
Penilai harus memberikan data mengenai Laporan Hasil Penilaian ditujukan kepada pihak yang berhak ataupun yang terkait. Dalam membuat kontrak kerja, ada kemungkinan penugasan diberikan oleh beberapa pihak, sehingga harus jelas bahwa Laporan Hasil Penilaian ini ditujukan kepada pihak yang mempunyai kepentingan. Dan Laporan Hasil Penilaian harus identik dan sama kepada berbagai pihak.

5. Paragraf Pendahuluan
Paragraf pendahuluan dari laporan ini ditujukan untuk tiga hal. Pertama, paragraf ini merupakan pernyataan dari Penilai bahwa penilai telah melakukan penilaian dengan adanya kontrak kerja yang sah antara pemberi penugasan dengan penilai.
Kedua, paragaraf ini menjelaskan tujuan dari penilaian tersebut dalam ruang lingkup tertentu yang diminta oleh pemberi penugasan. Ketiga adalah menjelaskan data-data yang digunakan oleh Penilai dalam melakukan penugasan baik data yang didapat dari pihak pemberi penugasan ataupun data lain yang dipublikasikan sehingga semua pihak yang mempunyai kepentingan atas Laporan Hasil Penilaian dapat mengetahui dan tidak mempunyai asumsi diluar data yang digunakan oleh Penilai.
Untuk usaha yang berbentuk badan hukum perusahaan yang telah dipasarkan di bursa efek, harus juga memberikan Laporan Audit Internal yang telah disahkan oleh Komisaris Perusahaan sebagai persyaratan dalam melakukan penilaian.




6. Paragraf Ruang Lingkup
Paragraf ini menjelaskan dua hal yaitu pernyataan faktual tentang yang dilakukan oleh Penilai, bahwa Penilai melakukan penilaian sesuai kaidah Ilmu Penilaian dengan standar-standar penilaian yang diterapkan secara umum di Indonesia beserta Kode Etik yang harus dipegang oleh Penilai. Dalam paragraf ini dijelaskan pula jangka waktu penilaian dilakukan
Kedua menjelaskan tanggung jawab dari Penilai atas data-data yang didapat oleh Penilai baik dari pihak pemberi penugasan dan data-data lain yang dipublikasikan. Penilai tidak bertanggung jawab atas kebenaran data yang telah diberikan ataupun yang dipublikasikan jika hasil penilaian tidak sesuai dengan kondisi yang nyata.


7. Paragraf Metodologi dan Informasi Analisa
Paragraf ini menjelaskan metodologi yang dilakukan oleh Penilai dalam melakukan penilaian terhadap data-data yang diperoleh. Kemudian Penilai juga memberikan informasi mengenai hasil analisa yang telah dilakukan sesuai metodologi penilaian sesuai kaidah akademis.

8. Paragraf Pendapat
Paragraf terakhir dalam laporan ini menyatakan kesimpulan Penilai berdasarkan hasil penilaian. Bagian ini sangat penting karena pada paragraf inilah seorang penilai memberikan pendapat. Hal yang harus dipahami oleh semua pihak adalah paragraf pendapat dengan tegas menyatakan sebuah pendapat, bukan pernyataan mutlak ataupun jaminan. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kesimpulan tersebut didasarkan atas pertimbangan professional.

9. Nama Penilai
Nama Penilai harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Penilaian. Didalam sebuah kantor penilai ada beberapa penilai yang bergabung dan bekerja sama, sehingga diperlukan identitas yang jelas mengenai Penilai yang melakukan penugasan. Jika terjadi sesuatu yang berhubungan dengan hasil penilaian yang harus dikonfirmasikan kepada kantor penilai, maka nama orang tersebut harus dapat memberikan keterangan mengenai hasil penilaian yang dilaksanakan.

10. Tanda Tangan
Tandan tangan Penilai berfungsi untuk memperkuat Laporan Hasil Penilaian. Dan hasil penilaian akan dinyatakan diterima secara hukum dengan adanya tanda tangan dari Penilai tersebut.

11. Tanggal Penilaian
Penilai harus mencantumkan tanggal atas pendapat nilai yang dikeluarkan, sehingga semua pihak dapat langsung mengetahui pendapat Penilai pada saat dan kondisi tertentu.

gtp 7 apr 07

Peningkatan Pemanfaatan Barang Milik Negara

Latar Belakang

A. Dasar Hukum

 UUD 1945 Pasal 23
 UUD 1945 Pasal 33
 UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
 PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D

B. Tugas Pokok Dan Fungsi Kementerian Keuangan

”perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan di bidang Kekayaan Negara".

 Berkedudukan sbg PENGELOLA BARANG MILIK NEGARA (implikasi UU No. 17/2003, UU No. 1/2004 dan peraturan pelaksanaannya terkait : dokumen kepemilikan, penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penilaian, dan pengamanan).

 Perlunya penanganan secara lebih intens dan komperehensif mengenai kekayaan Negara.

C. MAKSUD:

 Reorientasi Fungsi: Menangani secara khusus mengenai fungsi-fungsi terkait di bidang Kekayaan Negara dalam satu wadah, yaitu DJKN dalam rangka pelaksanaan fungsi fiskal pemerintah.

 Revitalisasi Fungsi: penanganan kekayaan Negara dalam rangka mewujudkan optimalisasi penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan, peningkatan efektivitas dan profesionalisme pengelolaan, serta akurasi nilai kekayaan Negara.

D. TUJUAN:

 Fokus pada penanganan Barang Milik Negara yang terdiri dari Pemerintah Pusat/Daerah dan BUMN/D

 Efektif dalam pengelolaan dan/atau penanganan beban kerja;

 Efisien dalam Keuangan Negara;

 Optimal dalam menggunakan sumber daya (resourcess)

 Tercapainya tujuan yang diharapkan sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.


E. Ruang Lingkup

 Tanah dan Bangunan yang termasuk dalam Barang Milik Negara dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan.
a. Barang Milik Negara : Tanah dan Bangunan milik Kementerian, Badan, Lembaga, Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah.
b. Kekayaan Negara yang Dipisahkan : Tanah dan Bangunan milik BUMN/D

 Ruang lingkup Tanah dan Bangunan adalah Wisma, Mess, Penginapan, Apartemen dan Perumahan Milik Negara yang terdiri dari Pemerintah Pusat/Daerah serta BUMN/D


Kerangka Pemikiran

A. Gambaran Umum

Salah satu konsep yang menarik dalam Pengelolaan Kekayaan Negara adalah tentang kondisi pengelolaan kekayaan Negara yang diinginkan. Pengelolaan kekayaan Negara perlu dilakukan secara proporsional dengan memberikan perhatian yang seimbang kepada faktor ekonomi, faktor sosial dan faktor ekologi. Tanpa dapat dihindari bahwa ketiga dimensi tersebut bersifat mutual exclusive.

Dengan latar belakang tersebut dan dengan berasumsi bahwa lahan sebagaimana ruang lingkup dalam bab I tersebut diatas, maka lahan dapat dimanfaatkan dengan lebih mengakomodasi ketiga dimensi disebut di atas, tulisan ini bertujuan untuk mempresentasikan kerangka konseptual guna memahami pemanfaatan lahan yang dalam tulisan ini disebut pemanfaatan lahan multifungsional.

Pada saat ini, dapat dilihat banyaknya aset wisma, mess, penginapan, apartemen dan perumahan milik Negara (AWN/Aset Wisma Negara) yang secara tidak langsung hanya digunakan oleh instansi tertentu untuk tujuan tertentu misalnya pendidikan dan latihan, tempat tinggal dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, tidak diketahui data yang dapat mendukung akan pemanfaatan secara maksimal atas AWN secara multifungsional.

Dengan tulisan ini diharapkan dapat membangkitkan diskusi atas pemikiran baru dan menjadi tantangan guna mencari pola pemanfaatan AWN yang lebih sensitif terhadap pluralitas masyarakat. Tak pelak lagi, DJKN yang dapat dikatakan setiap hari menangani masalah peruntukan lahan khususnya AWN-- berpotensi menjadi salah satu lembaga yang dapat membantu merealisasikan hal itu.

B. Gambaran Khusus

Pemanfaatan AWN secara langsung memiliki korelasi terhadap tugas, pokok dan fungsi Kementerian Keuangan RI yang dalam pelaksaan sangat berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baik dari sisi Pembiayaan dan Penerimaan Negara.

Secara sekilas, dapat dipastikan bahwa anggaran setiap fungsi Negara dan Pemerintah yang memakai APBN dalam pemanfaatan lahan untuk AWN akan sangat kecil jika dibandingkan dengan anggaran tiap-tiap fungsi Negara dan Pemerintah. Dengan mencoba mengupas lebih dalam penggunaan APBN maka kita dapat mencoba menghitung APBN yang dikeluarkan pemerintah dalam aspek sebagai berikut :



1. Skema Alur Pemanfaatan AWN

Dari skema 1. Alur Pemanfaatan Lahan Milik Negara dapat digambarkan secara sederhana bagaimana korelasi AWN mempengaruhi pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah.

Secara sederhana perhitungan biaya yang dikeluarkan setiap fungi Negara dan Pemerintah dipengaruhi oleh 6 (enam) faktor tersebut :

1. Biaya Pembelian Lahan
Tiap fungsi Negara dan Pemerintah meminta anggaran untuk pembelian lahan dengan tujuan memiliki lahan yang dapat digunakan secara ekslusif bagi kepentingan masing-masing.

2. Biaya Pembangunan
Setelah dilakukan pembelian lahan, maka fungsi terkait akan kembali meminta anggaran untuk pembangunan diatas lahan tersebut.

3. Biaya Renovasi
Kemudian secara berkala, maka akan ada biaya yang diambil dari APBN untuk melakukan renovasi terhadap AWN tersebut.

4. Biaya Pemeliharaan
Dapat dipastikan bahwa setiap tahun akan selalu ada anggaran Negara yang akan digunakan untuk pemeliharaan AWN tersebut.



5. Biaya Pendidikan dan Latihan
Sangat menarik memasukkan biaya pendidikan dan latihan pada biaya AWN. Hal didasarkan pada tujuan utama pembangunan AWN pada umumnya untuk tujuan pendidikan dan latihan.

Jadi sangat relevan jika memasukkan biaya pendidikan dan latihan dalam biaya bangunan milik Negara dengan terlebih dahulu melakukan perhitungan korelasi antara jumlah DikLat yang dilakukan oleh fungsi terkait dengan volumen penggunaan AWN.

6. Biaya lain-lain
Biaya lain-lain adalah biaya yang harus dikeluarkan pemerintah tersebut diatas dimana pemerintah tidak mendapat keuntungan atas biaya yang telah dikeluarkan.
Secara jamak diketahui, bahwa AWN dipakai oleh pihak Non-Pemerintah dengan melakukan pembayaran yang secara sederhana, pendapatan tersebut tidak masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Secara kasat mata, dapat diprediksi bahwa pengeluaran Negara yang diakibatkan oleh AWN mempunyai nilai yang sangat signifikan jika semua biaya dari tiap fungsi Negara dan Pemerintah disatukan dalam klasifikasi mata anggaran yang sama. Sedangkan di sisi pendapatan Negara, AWN sama sekali tidak diharapkan. Hal ini disebabkan adanya pemikiran bahwa AWN tidak berfungsi memberikan pemasukan kepada Kas Negara.

Pemikiran lainnya adalah biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk AWN tersebut dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat maka terjadi multiply economic effect yang lebih baik bagi perekonomian.

Sebagai contoh adalah disekitar Kompleks Departemen Keuangan RI Lapangan Banteng dan Wahidin banyaknya penginapan ataupun mess TNI dengan kondisi yang sangat kontras. Ada yang kurang layak untuk digunakan dan ada yang dalam kondisi sangat baik. Yang menjadi perhatian utama adalah tingkat pemanfaatan atas AWN tersebut dibandingkan dengan biaya dari APBN yang dikeluarkan untuk AWN tersebut.

Jika AWN tersebut dapat disatukan maka, ada kemungkinan Negara dapat melakukan sesuatu yang dapat memaksimalkan nilai dari AWN tersebut seperti sewa guna, sewa pinjam, ataupun lainnya yang mengedepankan multifungsional atas AWN sebagai bagian dari pendapatan Negara dan pelayanan pada masyarakat.

Contoh lain adalah Flat di Kompleks Lembaga Adiminstrasi Negara Pejompongan Jakarta. Dengan adanya flat yang baru, maka flat yang lama sudah tidak digunakan lagi. Sedangkan biaya-biaya atas flat lama masih diambil dari APBN. Flat tersebut disewakan secara terselubung dengan pemasukan kepada para petugas keamanan.

Paradigma Baru

A. Kerangka Umum

Saat ini belum terwujud adanya sistem Pengelolaan Kekayaan Negara yang komprehensif, terutama yang menyangkut inventarisasi Kekayaan Negara dari seluruh sektor. Kelemahan dalam inventarisasi Kekayaan Negara menyebabkan pemerintah tidak memiliki data Kekayaan Negara secara menyeluruh yang memadai. Selain itu Neraca Kekayaan Negara yang menggambarkan keadaan Kekayaan Negara sebenarnya belum dapat diwujudkan. Oleh karena itu akuntabilitas pengelolaan Kekayaan Negara masih sangat karena pelaporan nilai kekayaan negara sebagai hasil dari proses inventarisasi belum dilaksanakan dengan baik. Hal ini menyebabkan best practise dalam bidang pengelolaan Kekayaan Negara belum dapat terwujud dalam rangka pengamanan Kekayaan Negara.

Pengelolaan Kekayaan Negara selama ini cenderung belum proposional. Suatu Pengelolaan Kekayaan Negara yang proposional dalam rangka mewujudkan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat memerlukan keserasian antara tiga faktor, yaitu: (i) faktor ekonomi, (ii) faktor sosial, (iii) faktor ekologi.

Pengelolaan Kekayaan Negara saat ini masih lebih mengedepankan faktor ekonomi dari sisi pembiayaan dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi semata-mata dan kurang terarah pada faktor sosial dan faktor ekologi. Ditambah dengan banyaknya anggaran yang terbuang sia-sia dan pertumbuhan ekonomi tersebut belum dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan dalam pengelolaan Kekayaan Negara ini menyebabkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sulit untuk diwujudkan.

Pembagian kewenangan yang tidak selalu jelas dalam pengelolaan Kekayaan Negara menimbulkan potensi konflik, baik antar sektor maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta BUMN/D. Hal ini disebabkan karena banyaknya peraturan perundang-undangan sektoral yang terkait dengan pengelolaan kekayaan negara yang belum didukung dengan koordinasi yang mantap, harmonisasi pengelolaan Kekayaan Negara, petunjuk yang jelas, dan pengawasan yang tegas

Kekayaan Negara meliputi dua cakupan, yaitu: domein publik dan domein privat. Kekayaan negara dalam arti domein privat yang merupakan ruang lingkup tulisan ini merupakan kekayaan yang dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kekayaan negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari pasal 23 UUD 1945 dan juga digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.


Aset Management

Konteks universal memberikan pengertian pengelolaan aset sebagai:
A resouces owned of controlled by an entriprises as a result of past event and from which some future economic benefit(s) can be expected to flow to enterprise. Ownership of an asset itself is an intangible. However, the asset owned may be tanggible or intangible (international valuation standar 2003)

Sumber daya yang dimiliki dan dikelola oleh sebuah perusahaan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Sumber daya itu sendiri bisa berwujud tangible maupun intangible. Dalam konteks ini maka fungsi perusahaan diartikan menjadi fungsi negara.

Pemahaman manajemen aset lebih jelasnya sebagai berikut “ optimizing the utilization of asset in terms of service benefit and financial return” . Dengan demikian ada tiga perngertian yng harus dilakukan yaitu:
- meminimalkan biaya operasional
- memaksimalkan ketersediaan aset
- memaksimalkan kegunaan aset.

Untuk mencapai pengelolaan aset yang demikan diperlukan data yang akurat mengenai aset itu sendiri dan adanya usaha pengelolaan dan pengawasan atas penambahan, pergeseran, perubahan dan pengurangan atas multifungsional AWN yang terjadi.

Dengan demikan tujuan daripada pengelolaan aset itu sendiri adalah :
1. Menyediakan layanan yang dibutuhkan yaitu terfokus pada hasil dan tepat dalam penggunaan dan perawatan aset
2. Optimalisasi potensi layanan yang dihasilkan aset. Hal ini berupa pengembangan manajemen atas aset yang ada, fleksibilitas aset dan penggunaan skala ekonomis.
3. Maksimalisasi nilai aset dimana nilai dan manfaat aset harus dijaga serta pemilihan partnership yang sesuai.
4. Kontribusi pada penerimaan negara.
5. Pemenuhan responsibiltas dan akuntabilitas. Hal ini dapat terwujud karena ada kejelasan atas kepemilikan dan kontrol atas aset serta ada laporan pertanggungjwaban.

B. Kerangka Khusus

Dalam kerangka umum, mencoba memberikan paradigma baru tentang pemanfaatan atas AWN sebagai berikut :


2. Skema Alur Pemanfaatan AWN

Dalam skema 2, pemikiran sederhana adalah :

1. DJKN melakukan Inventarisasi Data atas lahan milik Negara yang mempunyai fungsi terkait dengan AWN dan jika memungkinkan dengan menghitung lahan kosong yang tidak digunakan oleh Negara.
2. Melakukan penelitian akan efisiensi dan efektivitas atas penggunan AWN secara multifungsional.
3. Melakukan klasifikasi ulang atas semua lahan milik negara sehingga tidak ada lagi AWN. Dalam hal ini semua AWN dikuasakan kepada DJKN dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) sebagai pengelola.
4. Membentuk BLU dalam mengelola AWN sehingga Negara dan Pemerintah dapat mengkontrol pemanfaatan atas AWN.

Dengan adanya skema seperti diatas, diharapkan DJKN dapat meningkatkan pemanfaatan Barang Milik Negara dengan multifungsional yang maksimal.

Pendalaman Skema 2

Poin 1

DJKN melakukan hal teknis sebagai berikut :
1. Inventrisasi data AWN tiap fungsi Negara dan Pemerintah.
2. Meminta data terbaru (Update Data) dari fungsi terkait.
3. Data-data dari fungsi terkait dilampirkan pula dengan :
a. Status Hukum atas lahan dan AWN
b. Harga Perolehan lahan dan AWN
c. Rekapan Renovasi dan Pemeliharaan AWN
d. Rekapan pemanfaatan dan penggunaan AWN
e. Rekapan penerimaan dana AWN
f. Rekapan semua Dik-Lat ataupun peningkatan SDM

4. Atas data yang dimiliki oleh DJKN dan data yang diberikan tiap fungsi Negara dan Pemerintah dilakukan perbandingan. Hal ini untuk melihat tingkat pemanfaatan AWN dari sisi biaya.

5. Membuat laporan atas hasil penelitian dokumen yang ada.

Poin 2

Atas data yang telah dibuat, DJKN melakukan :
1. Penilaian terhadap nilai AWN dalam lingkup Tanah dan Bangunan.
2. Penilaian terhadap prospek usaha jika AWN.
3. Melakukan penilaian SDM yang mendapat Dik-Lat di AWN dan yang Dik-Lat diluar AWN agar mengetahui perbandingan tingkat penggunaan atas biaya yang dikeluarkan oleh Negara telah maksimal digunakan untuk tiap fungsi Negara dan Pemerintah.

Poin 3

Agar lebih mudah melakukan pengawasan atas AWN maka pada masa mendatang tidak ada lagi AWN atas nama tiap fungsi Negara dan Pemerintah. Dalam hal ini, AWN hanya dinyatakan dalam beberapa alternatif penamaan seperti :

1. Untuk Lembaga, Badan dan sebagainya disebut sebagai Wisma Negara 1 s.d n
2. Untuk Kementerian disebut sebagai Wisma Pemerintah 1 s.d n
3. Untuk Pemerintah Daerah disebut sebagai Wisma Daerah 1 s.d n
4. Untuk BUMN/D disebut dengan Wisma Perseroan 10/20 s.d n

Dan dalam lingkup klasifikasi, DJKN juga memberikan pertimbangan atas AWN dengan kondisi :
1. Dimasukkan dalam usaha BLU
2. Disewakan
3. Dimanfaatkan sebagai perkantoran oleh instansi yang membutuhkan.

Poin 4

Setelah dilakukan persiapan yang matang, maka AWN akan diserahkan pada BLU yang dibentuk oleh pemerintah. Hal ini agar pengeluaran dan pendapatan yang dikeluarkan dari APBN dapat terukut secara lebih akurat.
Keuntungan dari adanya penyatuan AWN tersebut adalah :

1. Masyarakat dapat mengukur dengan lebih akurat atas pengeluaran dan pemasukan Negara dari PNBP. Sehingga tercipta transparansi dan akuntabilitas dan pengelolaan aset Negara.
2. Pengelolaan AWN secara profesional dengan dibentuknya BLU akan memperingan beban pengeluaran Negara dan juga meningkatkan kinerja dari AWN.
3. Memperbanyak lapangan kerja dengan mengurangi faktor-faktor KKN dalam pengelolaan AWN karena seluruh pendapatan AWN lebih terukur.
4. Semakin terbukanya hubungan lintas sektoral baik dari sisi pimpinan maupun staf yang diharapkan terciptanya hubungan pribadi yang semakin baik dan terbukanya informasi dari masing-masing fungsi agar meningkatkan kinerja dan persaingan secara positif.

Metodologi Penelitian

Untuk penelitian ilmiah mengenai AWN dapat dilakukan oleh Direktorat Penilaian Kekayaan Negara untuk melakukan perhitungan sesuai dengan disiplin ilmu yang diterapkan dalam menghitung AWN.

Perhitungan yang penting terhadap AWN adalah :

1. Perhitungan terhadap kondisi lahan, tanah dan bangunan sesuai disiplin ilmu penilaian untuk mengetahui secara pasti nilai AWN yang dimiliki Negara.
Hal ini juga berguna dalam mengukur aset milik Negara secara lebih memadai.

2. Atas AWN tersebut dilakukan juga penelitian ilmiah mengenai Penilaian Usaha atas AWN.
Hal ini penting dalam menghitung kemungkinan Negara mendapatkan penerimaan dari aset Negara yang selam ini dianggap sebagai faktor pembiyaan.
Dengan menghitung prospek AWN, pangsa pasar, trend ekonomi dan bagaimana AWN dalam dijadikan sebagai jaminan atas surat-surat berharga yang dikeluarkan pemerintah dalam mendorong pertingkatan ekonomi.


Penutup

Tujuan akhir dari pengelolaan AWN dan perencanaan pengeluaran dan penerimaan Negara pada pokoknya adalah efektivitas dan efisiensi APBN, optimalisasi dari anggaran serta korelasi penerimaan Negara yang tersedia dengan terlaksanannya asas-asas dalam pengelolaan AWN. Sebelum ada aturan yang jelas, pengelolaan AWN dan Keuangan Negara adalah dua hal yang berbeda, tanpa memiliki hubungan sedikitpun. Masing-masing berjalan sendiri tanpa ada sebuah aspek legal yang menjembataninya.

Seiring dengan dengan perubahan/reformasi di bidang keuangan, kedua hal yang terpisah tersebut mendapat tempat dalam sebuah kerangka regulasi yang saling mendukung. Dengan demikian pengelolaan AWN menjadi salah satu bagian integral dari sebuah proses peningkatan Keuangan Negara. Menjadi dalah satu bagian karena masih banyak bagian lain dari pengelolaan Aset Milik Negara yang belum bersentuhan dengan Keuangan Negara. Sebuah pencapaian aspek legalitas yang baik guna merealisasikan best practice dalam asset management.

Ketika sudah pada tahap saling berkaitan, diharapkan tercapai sebuah efisiensi, efekfivitas, transparansi, akuntabilitas dan optimalisasi dalam pengelolaan AWN dalam kaitannya dengan perencanaan Keuangan Negara yang dibuat.

Akhir kata, hubungan baik antara pengelolaan AWN dan Keuangan Negar sudah dimulai dalam sebuah kerangka aspek legalitas yaitu berdirinya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Semoga hubugnan ini menghasilkan sebuah penciptaan asas funsional, asas kepastian hukum, asas transparansi, asas efisiensi, asas akuntabilias dan asas kepastian nilai Kekayaan Negara.

gtp 16 jan 07

Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan

Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan
(Tanggapan dari sisi Ekonomi)


Karakteristik :
- Usaha Mikro berasal dari Sixth Sense, dimana setiap manusia akan struggle for his/her living cost to catter his/her life.
- Digerakkan oleh Invisible Hand, dimana roda perekonomian digerakkan oleh human will and instinct. Usaha Mikro juga ditujukan bagi kaum marginal dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
- Produk berdasarkan daerah, suku etc. Seperti pembuatan dodol, ukiran etc.
- High Trusted, yang dimaksud adalah adanya tingkat kepercayaan yang tinggi antara sesama pengusaha dan pekerja yang bergerak di sektor mikro yang disebabkan back ground social culture.
- Berada disatu pasar berdasarkan social culture back ground. Seperti pedagang pakaian di kaki lima Tanah Abang yang umumnya berkumpul per suku di Indonesia.
- Paradoks antara high risk business dan guarantee of business. Yang dimaksud adalah disatu sisi penggerak usaha mikro pada umumnya bekerja berdasarkan keyakinan pribadi (sixth sense) bahwa produk yang dihasilkan akan habis diserap pasar tanpa memikirkan perubahan ekonomi yang terjadi. Disisi lain, penggerak usaha mikro hanya mempunyai modal yang kurang mencukupi dalam berusaha.

Kelemahan Usaha Mikro :
- Tidak ada jaminan yang bisa dijadikan agunan karena kaum pengusaha dan pekerja umumnya adalah masyarakat dengan latar pendidikan dan ekonomi yang kurang memadai.
- Umumnya berdasarkan musim (untuk usaha perkebunan, ternak dan perikanan) dan dalam bekerja bergantung pada keadaan dan sugesti yang ada (untuk usaha yang bersifat barang-barang ukiran, kerajinan tangan).
- Tidak ada kepastian mengenai siklus suatu pekerjaan dari awal sampai terjualnya suatu produk jauh lebih besar dari sebuah coorporate.

Kelebihan Usaha Mikro :
- Prosentase profit yang dihasilkan jauh lebih besar dari sebuah coorporate. (hal ini disebabkan pola hidup dan mind set dari kaum pekerja di sektor usaha mikro cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup).
- High Level of Honesty, karena umumnya pekerja di usaha mikro digerakkan oleh ikatan persaudaraan maka tingkat kejujuran dan kepercayaan sangat tinggi. Dan pada umumnya transaksi yang terjadi tanpa ada bukti-bukti tertulis yang bisa dijadikan landasan atau dasar bukti secara hukum jika terjadi perselisihan.
- Mempunyai satu orang atau sekelompok pemimpin dalam masyarakat yang dihormati oleh kaumnya dan menjadi motor dalam usaha mikro tersebut.
- Tingkat toleransi yang sangat tinggi terhadap sesama usaha mikro.

Kendala yang timbul antara hubungan Perbankan dan Usaha Mikro antara lain adalah :

Perbankan
1. Memerlukan Agunan / Jaminan
2. Adanya peraturan yang ketat
3. Usaha Mikro kurang menjadi perhatian oleh pihak perbankan.
4. Prosedur yang relatif lama untuk pencairan dana pinjaman.

Usaha Mikro
1. Tidak mempunyai Agunan / Jaminan
2. Kurang mengerti peraturan perbankan
3. Sangat memerlukan pinjaman dari bank karena tingkat demand x supply yang fluktuatif.
4. Tidak terbiasa dengan tindakan prosedural dan memerlukan dana dalam waktu singkat.




Alternatif solusi yang ada dalam mengatasi kendala yang timbul antara perbankan dan usaha mikro adalah :

1.Perbankan mendekatkan kantor cabang pada pasar-pasar usaha mikro. Seperti di Pasar Tanah Abang,Pasar Cipulir,Pasar Kramat Jati dll yang ada di seluruh Indonesia.
Hal ini diperlukan agar perbankan dapat tercipta kepercayaan antara usaha mikro dan perbankan.

2.Perbankan membuat laporan secara mendetail tentang hasil analisa social culture, geografis dan adat istiadat di wilayah dimana cabang perbankan didirikan. Dan juga memberikan laporan analisa barang-barang yang diproduk, siklus produksi dan tingkat pemasaran barang-barang yang diproduksi.


3.Perbankan melakukan pengikatan kredit usaha mikro dengan membagi per kelompok dimana orang yang paling dituakan atau penggerak/motor dari usaha mikro dalam kelompok tersebut menjadi penjamin atas pinjaman yang diberikan pada setiap orang yang berada didalam kelompok tersebut.
Dengan hal ini maka perbankan dapat melakukan rekonsiliasi catatan pembukuan dengan hanya wakil dari kelompok tersebut.

4.Perbankan memberikan bunga yang rendah dan dalam jangka waktu singkat menurut hasil analisa terhadap pasar dimana cabang perbankan itu berada.
Hal ini berguna dalam meningkatkan money turn over.

5.Perbankan melakukan penyuluhan dan tukar pendapat dengan usaha mikro dengan analisa yang dimiliki oleh pihak perbankan agar meningkatkan kinerja dan produktivitas perbankan maupun usaha mikro.

C: gtp/lain2

SPV

Special Purpose Vehicle (SPV)


Pengantar

Akhir-akhir ini banyak kritikan terhadap kinerja perbankan nasional khususnya terhadap bank-bank BUMN yang dilakukan oleh praktisi keuangan ataupun lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini sehubungan dengan adanya kredit macet yang biasa disebut Non Performance Loan (NPL) dengan jumlah yang cukup signifikan di bank-bank BUMN. Dan NPL ini bertambah banyak akibat dampak adanya perubahan terhadap peraturan Bank Indonesia nomor PBI No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 January 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva. PBI yang baru tersebut mengatur dengan sangat rinci bentuk-bentuk asset dan juga lembaga-lembaga independen yang terlibat dalam pengukuran kualitas aktiva. Serta mengatur pula kategori pinjaman dengan lebih terperinci, sehingga penggolongan kredit pun menjadi lebih jelas, karena bukan hanya dilihat dari termin pembayaran, tetapi juga melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepastian terhadap pinjaman yang dilakukan oleh debitur. Dengan adanya perubahan peraturan terhadap kualitas aktiva, maka jumlah NPL pun meningkat dengan tajam.

Atas banyaknya kritikan yang diterima oleh bank-bank BUMN terhadap tingginya NPL yang ada di bank, maka pihak bank-bank BUMN pun memberi tanggapan dengan cara beragam sebagai alternatif penyelesaian terhadap NPL yang ada. Salah satu alternatif yang memberikan keseragaman adalah adanya permintaan agar dibentuk Special Purpose Vehicle untuk mengatasi banyaknya NPL. Seakan-akan terbentuk opini di pihak bank-bank bumn bahwa dengan adanya SPV maka persoalan NPL yang dihadapinya dapat diatasi dengan lebih mudah.

SPV sendiri merupakan wacana baru dalam perbankan Indonesia, dimana selama ini pihak-pihak yang menyoroti bank-bank BUMN tidak memberikan alternatif melalui model SPV. Saat ini dengan bergulirnya ide tentang berdirinya SPV yang dilakukan oleh bank-bank BUMN, banyak pihak menunggu perubahan apa yang akan terjadi dalam perbankan nasional dan apa dampaknya terhadap peningkatan kinerja bank-bank BUMN tersebut. Walapun sampai saat ini baik Departemen Keuangan sebagai pemegang saham dan juga BI sebagai regulator moneter belum menunjukkan tanggapan secara serius terhadap ide yang dilontarkan mengenai SPV.

Dalam perbankan internasional, SPV sudah cukup dikenal secara luas sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian masalah NPL. Hal ini dapat dilihat dengan adanya SPV di berbagai negara seperti Germany, Swiss, Philipina, Singapore, Pakistan dll. Sehingga pengertian mengenai SPV perlu dipublikasikan secara luas untuk memperluas pengetahuan mengenai perbankan.





Definisi

Special Purpose Vehicle (SPV), jika dilihat dari namanya adalah seperti kendaraan khusus yang digunakan untuk tujuan tertentu. Dalam dunia perbankan, SPV adalah suatu alternatif yang digunakan oleh pihak perbankan dalam menyelesaikan permasalahan NPL yang cukup signifikan dan mempengaruhi keuangan suatu negara. Salah satu contoh adalah di Swiss, dimana perbedaan konsep loan dalam perbankan swiss turut mengalami masalah yaitu adanya penurunan likuiditas yang mempengaruhi perputaran keuangan negara. (Lampiran IV)

SPV adalah suatu bentuk yang bisa dijadikan suatu badan dalam bentuk corporation,trust,partnership atau limited liability company (Lampiran I). Maksud dari hal tersebut adalah sebuah SPV tidak akan dibatasi oleh bentuk atau kemasan yang menaungi maksud dan tujuan dari makna kata SPV di dunia perbankan. Bahkan sebenarnya SPV pun dapat terbentuk tanpa adanya badan hukum yang memayunginya. Yang terpenting dalam adalah adanya peraturan dan ketentuan yang mengikat semua pihak yang terkait untuk menjaga independensi SPV dalam melaksanakan tugas yang diberikan dan kesamaan paham dari pihak-pihak yang terkait. Di beberapa Negara, seperti Filipina, dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan SPV diatur oleh kongres sehingga SPV bertanggung jawab penuh kepada parliament negara Filipina. Sedangkan di Pakistan, Singapore, SPV langsung dibawah regulator moneter. Dan di Swiss SPV berada dibawah pengawasan regulator fiskal yang dijalan oleh praktisi-praktisi bisnis dinegara tersebut. (Lampiran III)

Dan secara badan hukum yang berdiri independen, SPV tidak akan pernah dan tidak boleh mengalami kerugian dalam menjalankan kegiatannya. Mengapa ? Karena semua biaya yang dikeluarkan oleh SPV akan ditanggung oleh pihak-pihak yang terkait didalamnya seperti bank, lembaga keuangan (LK), investor dll. Dan atas semua kegiatan yang dilakukan SPV secara keuangan dan perdagangan mendapat garansi dari lembaga-lembaga keuangan independen yang terlibat seperti Finance Consultant, Appraisal, Tax Consultant dll.

Tujuan dari didirikan SPV adalah untuk dapat meningkatkan likuiditas dari bank-bank yang memiliki NPL. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan penjualan surat-surat berharga dengan jaminan asset-asset yang termasuk dalam kategori NPL bank tersebut.

Pihak-Pihak Terkait

Secara umum, pihak-pihak yang terkait dengan SPV adalah :

1. Bank
Pihak bank yang memiliki NPL akan melakukan verifikasi atas kategory NPL yang dapat diserahkan ke SPV agar dilakukan penjualan surat-surat berharga dengan jaminan asset-asset dari debitur NPL.
Atas surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh SPV maka pihak bank berkewajiban untuk membayar segala kewajiban kepada SPV maupun investor.
Atas penilaian terhadap usaha debitur yang NPL, pihak bank berkewajiban menggunakan LK untuk melakukan penilaian dan memberikan proposal penawaran terhadap aset yang dijadikan jaminan kepada SPV agar dapat dijual dalam bentuk surat berharga.
Dan untuk melakukan penjualan surat berharga atas aset debitur, maka pihak bank harus mempunyai jaminan bahwa atas usaha yang dimiliki oleh debitur, pihak bank dapat mengatur dan mempunyai otoritas penuh terhadap usaha yang dimiliki oleh debitur yang akan dilakukan oleh LK.

2. Financial Institution (Lembaga Keuangan)
Lembaga Keuangan (LK) mempunyai tugas memberikan jaminan kepada pihak bank terhadap kinerja debitur NPL, bahwa usaha yang sedang dijalankan oleh debitur dapat memberikan hasil yang maksimal dan dengan dilakukan penjualan surat-surat berharga atas jaminan asset yang dimiliki debitur NPL, maka pihak bank dapat memperoleh keuntungan dan akan sanggup membayar kewajiban-kewajibannya kepada investor.
Tugas dari LK sangat berat. Hal ini karena LK harus mampu menghitung dengan cermat nilai dari asset yang bukan hanya dihitung dari harga asset tersebut dipasaran (market price) dan juga harga pembelian (historical cost) tetapi juga harus mampu menilai asset tersebut dengan nilai yang akan mungkin dicapai atas pemanfaatan asset tersebut. Selain hal tersebut LK juga harus mampu melakukan managemen usaha secara kontinyu untuk menjamin bahwa usaha debitur akan mengalami perubahan yaitu peningkatan performance usaha debitur baik tingkat produksi dan keuntungan.
Atas asset yang dimiliki debitur NPL, maka LK harus mampu melakukan split dan swap agar dapat menentukan dengan pasti komposisi jenis surat berharga yang akan memberikan keuntungan yang maksimal kepada investor dan juga bank. Maka dalam hal ini, pengalaman LK dalam melakukan managemen keuangan dan juga finance engineering sangat dibutuhkan. (contoh Lampiran V dan VI)

3. Investor
Investor adalah salah satu pihak yang penting dalam kegiatan yang dilakukan oleh SPV. Investor yang akan melakukan penilaian tersendiri atas penawaran yang diajukan oleh SPV dengan jaminan dari pihak LK bahwa pihak LK dapat memberikan keuntungan bagi investor. (Lampiran I Quote ‘strategic adverse selection problem’)

4. Pemerintah (Gov’t)
Gov’t mempunyai peran penting dalam tugas yang dilaksanankan oleh SPV. Gov’t secara tidak langsung akan mendapatkan keuntungan dari berjalannya kegiatan SPV jika dilakukan dengan baik. Keuntungan yang di peroleh Gov’t adalah stimulasi ekonomi baik secara micro and macro, masuknya investasi ataupun cairnya capital yang dimiliki oleh investor, meningkatkan tingkat perputaran uang sehingga gov’t dapat menjaga stabilitas ekonomi dengan mengatur kebijakan moneter dan fiskal lebih baik karena stagnasi akibat rendahnya perekonomian berkurang dengan adanya SPV.
Dalam SPV. Gov’t juga mempunyai kewajiban untuk memayungi SPV dalam bentuk peraturan-peraturan yang mengacu pada Good Coorporate Governance (GCG) dan juga memberi kepastian terhadap investor asing yang akan masuk terhadap kepastian hukum. Gov’t juga memberikan insentif terhadap transaksi yang dilakukan SPV seperti insentif pajak, jangka waktu pembayaran kewajiban, keamanan dll.


Karakteristik SPV

1. Independen
Dalam mekanisme pelaksanaan, SPV harus bersifat independen, tidak boleh ada conflict of interest dari pihak-pihak yang terkait dengan penugasan SPV seperti bank, LK, investor maupun pemerintah. Hal ini untuk menjamin bahwa transaksi atas surat-surat berharga dijual sesuai dengan harga ekuilibrium tanpa terjadi distorsi. Dan semua karyawan yang terlibat dalam program SPV tidak boleh berasal dari pihak bank atau investor.

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup SPV hanya dibatasi pada NPL yang mempunyai jaminan asset di bank. Jadi NPL yang terjadi tanpa adanya jaminan seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) tidak bisa masuk dalam program SPV. Dan jumlah NPL yang dimasukkan dalam program SPV mempunyai batasan maksimal dihitung sesuai perbandingan NPL dan likuiditas yang dimiliki oleh bank dan atau asset-asset bank selain likuiditas.
Hal ini diperlukan jika terdapat kendala yang mengakibatkan NPL yang ikut dalam program SPV mengalami kerugian, sehingga pihak bank dapat membayar kewajibannya sesuai perjanjian kepada investor.

3. Jangka Waktu
Program SPV harus mempunyai jangka waktu pelaksanaan. Hal ini diperlukan karena SPV adalah sebuah program yang bersifat sementara (temporary) sehingga harus ditentukan jangka waktu pelaksanaan dari program SPV. Alasan dari hal tersebut diatas adalah diharapkan dengan adanya SPV maka tingkat analisa dan evaluasi terhadap pemberian kredit oleh bank semakin baik sehingga NPL akan semakin berkurang, demikian juga NPL yang ada dapat dikurangi. Dan SPV juga harus dapat di evaluasi oleh sebuah badan pengawas seperti DPR, Depkeu atau BI. Dengan adanya jangka waktu, dapat pula diketahui kinerja dari program SPV apakah memang bermanfaat bagi perkembangan ekonomi macro.

4. Insentif
Dalam program SPV, pihak-pihak yang terkait mendapat kompensasi timbal balik atas transaksi yang dilakukan. Sebagai contoh yang pertama adalah insentif pajak. Dalam hal terjadinya transaksi, maka pihak penjual dan pembeli mendapat insentif pajak dalam bentuk pengurangan tarif pajak dari tarif pajak yang berlaku normal. Contoh kedua adalah berkurangnya biaya-biaya lainnya yang harus ditanggung oleh investor dan pihak bank dalam bertransaksi seperti pengurangan prosedur dari yang berlaku umum sehingga dapat mengurangi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.

5. Kendala
Dalam pelaksanaan program SPV terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh SPV terutama yang berlaku di suatu negara untuk investor. Sebagai contoh :
a. Peraturan dan kebijakan pemerintah
Undang-undang dan peraturan yang berlaku bisa menjadi suatu barrier bagi investor untuk menanam uang dalam program SPV. Misalnya peraturan mengenai Tanah dan Bangunan. Tiap negara mempunyai peraturan yang berbeda mengenai Tanah dan Bangunan, yang menjadi bahan pemikiran investor adalah jangka waktu investasi dan jangka waktu memiliki Tanah dan Bangunan di suatu negara untuk pemanfaatannya. Sebab jika suatu usaha gagal dan terjadi perubahan fungsi usaha diatas Tanah dan Bangunan tersebut akan memakan waktu berapa lama dalam pengurusannya sampai kembali dapat berusaha secara aktif dan memberi keuntungan bagi investor. Ataupun Undang-undang mengenai perburuhan yang berlaku disuatu negara apakah benar-benar dapat menjamin investasi dapat dibayar tepat pada waktu. Dan juga tentu saja peraturan perpajakan yang pasti sangat diperlukan oleh investor.

b. Social Culture
Social Culture suatu negara sangat mempengaruhi tingkat investasi. Social culture merupakan faktor yang tidak dapat diprediksi secara pasti, tetapi investor tetap menginginkan adanya standar deviasi dari social culture masyarakat dimana usaha tempat investor menanam capital dapat aman dari kendala akibat dari social culture sebuah populasi. Sebagai contoh adalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara terkorup didunia, berarti secara general masyarakat international mengenal masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang suka korup, yang berarti berapapun capital yang di invest, kemungkinan besar ada dana yang diselewengkan. Hal ini menyebabkan investor asing enggan untuk menanam capital di Indonesia.

c. Gov’t Guarantee
Jaminan dari Gov’t dalam bentuk keamanan, hukum dan keuangan. Semua investasi asing disuatu negara tentu saja memerlukan jaminan yang pasti dan berlaku sama bagi semua pihak.

d. International Standards
Bank-bank, Lembaga Keuangan dan Pemerintahan suatu negara harus benar-benar memenuhi standard yang ditetapkan secara international agar investor dapat diyakinkan untuk menanam investasi disuatu negara. Sebagai contoh, badan penilai/appraisal apakah memenuhi standard international dalam melakukan penilaian, apakah bank-bank yang ikut program SPV memenuhi standard international dalam pengelolaan dan mekanisme keuangan dll.

6. Mekanisme SPV
 Lampiran I Hal 15 dan 16
 Lampiran III Hal 2









gtp 24/11/05
Mane Nobiscum Domine